(tulisan ini dihadirkan, untuk sekeder membangun second opinion terhadap sekelompok orang yang mengatasnamakan gerakan dakwahnya dengan SALAFI. mereka dengan membabi-buta mengkafirkan dan mengatakan sesat para ulama2 dan tokoh2 pergerakan dakwah islam selain dari kelompoknya, juga dengan mudahnya mengatakan dan menuduh kelompok2 / ormas / parpol / harokah islam lainnya, dengan bid'ah) -> jadi, hanya mereka yang BENAR islamnya.
---###---
Belakangan ini kata ‘salaf’ semakin populer. Bermunculan pula kelompok yang mengusung nama salaf, salafi, salafuna, salaf shaleh dan derivatnya. Beberapa kelompok yang sebenarnya berbeda prinsip saling mengklaim bahwa dialah yang paling sempurna mengikuti
jalan salaf. Runyamnya jika ternyata kelompok tersebut berbeda dengan generasi pendahulunya dalam banyak hal. Kenyataan ini tak jarang membuat umat islam bingung, terutama mereka yang masih awam. Lalu siapa pengikut salaf sebenarnya? Apakah kelompok yang konsisten menapak jejak salaf ataukah kelompok yang hanya menggunakan nama salafi?
Tulisan ini mencoba menjawab kebingungan di atas dan menguak siapa pengikut salaf sebenarnya. Istilah salafi berasal dari kata salaf yang berarti terdahulu. Menurut ahlussunnah yang dimaksud salaf adalah para ulama’ empat madzhab dan ulama sebelumnya yang kapasitas ilmu dan amalnya tidak diragukan lagi dan mempunyai sanad (mata rantai keilmuan) sampai pada Nabi SAW. Namun belakangan muncul sekelompok orang yang melabeli diri dengan nama salafi dan aktif memakai nama tersebut pada buku-bukunya.
Kelompok yang berslogan “kembali” pada Al Qur’an dan sunnah tersebut mengaku merujuk langsung kepada para sahabat yang hidup pada masa Nabi SAW, tanpa harus melewati para ulama empat madzhab. Bahkan menurut sebagian mereka, diharamkan mengikuti madzhab tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Abdul Aziz bin Baz dalam salah satu majalah di Arab Saudi, dia juga menyatakan tidak mengikuti madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.Pernyataan di atas menimbulkan pertanyaan besar di kalangan umat islamyang berpikir obyektif. Sebab dalam catatan sejarah,ulama-ulama besar pendahulu mereka adalah penganut madzhab Imam Ahmad
bin Hanbal. Sebut saja Syekh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Rajab, Ibnu Abdil Hadi, Ibnu Qatadah, kemudian juga menyusul setelahnya Al Zarkasyi, Mura’i, Ibnu Yusuf, Ibnu Habirah, Al Hajjawiy, Al Mardaway, Al Ba’ly, Al Buhti dan Ibnu Muflih. Serta yang terakhir Syekh Muhammad
bin Abdul Wahhab beserta anak-anaknya, juga mufti Muhammad bin Ibrahim, dan Ibnu Hamid. Semoga rahmat Allah atas mereka semua.
Ironis sekali memang, apakah berarti Imam Ahmad bin Hanbal dan para imam lainnya tidak berpegang teguh pada Al-Qur’an dan sunnah? Sehingga kelompok ini tidak perlu mengikuti para pendahulunya dalam bermadzhab?. Apabila mereka sudah mengesampingkan kewajiban
bermadzhab dan tidak mengikuti para salafnya, layakkah mereka menyatakan dirinya salafy?
Aksi Manipulasi Mereka Terhadap Ilmu Pengetahuan
Belum lagi aksi manipulasi mereka terhadap ilmu pengetahuan. Mereka memalsukan sebagian dari kitab kitab karya ulama’ salaf. Sebagai contoh, kitab Al Adzkar karya Imam Nawawi cetakan Darul Huda, Riyadh,1409 H, yang ditahqiq oleh Abdul Qadir Asy Syami. Pada halaman 295, pasal tentang ziarah ke makam Nabi SAW, dirubah judulnya menjadi pasal tentang ziarah ke masjid Nabi SAW. Beberapa baris di awal dan akhir pasal itu juga dihapus. Tak cukup itu, mereka juga dengan sengaja menghilangkan kisah tentang Al Utbiy yang diceritakan Imam Nawawi dalam
kitab tersebut. Untuk diketahui, Al Utbiy (guru Imam Syafi’i) pernah menyaksikan seorang arab pedalaman berziarah dan bertawassul kepada Nabi SAW. Kemudian Al Utbiy bermimpi bertemu Nabi SAW, dalam mimpinya Nabi menyuruh memberitahukan pada orang dusun tersebut bahwa ia diampuni Allah berkat ziarah dan tawassulnya. Imam Nawawi juga menceritakan
kisah ini dalam kitab Majmu’ dan Mughni.
Pemalsuan juga mereka lakukan terhadap kitab Hasyiah Shawi atas Tafsir Jalalain dengan membuang bagian-bagian yang tidak cocok dengan pandangannya. Hal itu mereka lakukan pula terhadap kitab Hasyiah Ibn Abidin dalam madzhab Hanafi dengan menghilangkan pasal khusus yang menceritakan para wali, abdal dan orang-orang sholeh.
Ibnu Taymiyah Vs Wahhaby
Parahnya, kitab karya Ibnu Taimiyah yang dianggap sakral juga tak luput dari aksi mereka. Pada penerbitan terakhir kumpulan fatwa Syekh Ibnu Taimiyah, mereka membuang juz 10 yang berisi tentang ilmu suluk dan tasawwuf. (Alhamdulilah, penulis memiliki cetakan lama) Bukankah
ini semua perbuatan dzalim? Mereka jelas-jelas melanggar hak cipta karya intelektual para pengarang dan melecehkan karya-karya monumental yang sangat bernilai dalam dunia islam. Lebih dari itu, tindakan ini juga merupakan pengaburan fakta dan ketidakjujuran terhadap dunia ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi sikap transparansi dan obyektivitas.
Mengikuti salaf?
Berikut ini beberapa hal yang berkaitan dengan masalah tasawwuf, maulid, talqin mayyit, ziarah dan lain-lain yang terdapat dalam kitab-kitab para ulama pendahulu wahhabi. Ironisnya, sikap mereka sekarang justru bertolak belakang dengan pendapat ulama mereka sendiri.
Pertama, tentang tasawuf.
Dalam kumpulan fatwa jilid 10 hal 507 Syekh Ibnu Taimiyah berkata, “Para imam sufi dan para syekh yang dulu dikenal luas, seperti Imam Juneid bin Muhammad beserta pengikutnya, Syekh Abdul Qadir al-Jailani serta lainnya, adalah orang-orang yang paling teguh dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kalam-kalamnya secara keseluruhan berisi anjuran untuk mengikuti ajaran syariat dan menjauhi larangan serta bersabar menerima takdir Allah.
Dalam “Madarijus salikin” hal. 307 jilid 2 Ibnul Qayyim Al-Jauziyah berkata, “Agama secara menyeluruh adalah akhlak, barang siapa melebihi dirimu dalam akhlak, berarti ia melebihi dirimu dalam agama. Demikian pula tasawuf, Imam al Kattani berkata, “Tasawwuf adalah akhlak, barangsiapa melebihi dirimu dalam akhlak berarti ia melebihi dirimu dalam tasawwuf.”
Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam kitab Fatawa wa Rosail hal. 31 masalah kelima. “Ketahuilah -mudah-mudahan Allah memberimu petunjuk – Sesungguhnya Allah SWT mengutus Nabi Muhammad dengan petunjuk berupa ilmu yang bermanfaat dan agama yang benar berupa amal shaleh. Orang yang dinisbatkan kepada agama Islam, sebagian dari mereka ada yang memfokuskan diri pada ilmu dan fiqih dan sebagian lainnya memfokuskan diri pada ibadah dan mengharap akhirat seperti orang-orang sufi. Maka sebenarnya Allah telah mengutus Nabi-Nya dengan agama yang meliputi dua kategori ini (Fiqh dan tasawwuf)”. Demikianlah penegasan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bahwa ajaran tasawuf bersumber dari Nabi SAW.
Kedua, mengenai pembacaan maulid.
Dalam kitab Iqtidha’ Sirathil Mustaqim “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, Ibnu Taimiyah berkata, Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…” Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”
Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”
Ketiga, tentang hadiah pahala
Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa barang siapa mengingkari sampainya amalan orang hidup pada orang yang meninggal maka ia termasuk ahli bid’ah. Dalam Majmu’ fatawa juz 24 hal 306 ia menyatakan, “Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah pahala orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama islam dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah dan ijma’ (konsensus ulama’). Barang siapa menentang hal tersebut maka ia termasuk ahli bid’ah”.
Lebih lanjut pada juz 24 hal 366 Ibnu Taimiyah menafsirkan firman Allah “dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS an-Najm [53]: 39) ia menjelaskan, Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak bias mendapat manfaat dari orang lain, Namun Allah berfirman, seseorang hanya berhak atas hasil usahanya sendiri. Sedangkan hasil usaha orang lain adalah hak orang lain. Namum demikian ia bisa memiliki harta orang lain apabila dihadiahkan kepadanya.
Begitu pula pahala, apabila dihadiahkan kepada si mayyit maka ia berhak menerimanya seperti dalam solat jenazah dan doa di kubur. Dengan demikian si mayit berhak atas pahala yang dihadiahkan oleh kaum muslimin, baik kerabat maupun orang lain” Dalam kitab Ar-Ruh hal 153-186 Ibnul Qayyim membenarkan sampainya pahala kepada orang yang telah meninggal. Bahkan
tak tangung-tanggung Ibnul Qayyim menerangkan secara panjang lebar sebanyak 33 halaman tentang hal tersebut
Keempat, masalah talqin.
Dalam kumpulan fatwa juz 24 halaman 299 Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa sebagian sahabat Nabi SAW melaksanakan talqin mayit, seperti Abu Umamah Albahili, Watsilah bin al-Asqa’ dan lainnya. Sebagian pengikut imam Ahmad menghukuminya sunnah. Yang benar, talqin hukumnya boleh dan bukan merupakan sunnah. (Ibnu Taimiyah tidak menyebutnya bid’ah)
Dalam kitab AhkamTamannil Maut Muhammad bin Abdul Wahhab juga meriwayatkan hadits tentang talqin dari Imam Thabrani dalam kitab Al Kabir dari Abu Umamah.
Kelima, tentang ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW.
Dalam qasidah Nuniyyah (bait ke 4058) Ibnul Qayyim menyatakan bahwa ziarah ke makam Nabi SAW adalah salah satu ibadah yang paling utama “Diantara amalan yang paling utama dalah ziarah ini. Kelak menghasilkan pahala melimpah di timbangan amal pada hari kiamat”. Sebelumnya ia mengajarkan tata cara ziarah (bait ke 4046-4057). Diantaranya, peziarah hendaklah memulai dengan sholat dua rakaat di masjid Nabawi. Lalu memasuki makam dengan sikap penuh hormat dan takdzim, tertunduk diliputi kewibawaan sang Nabi. Bahkan ia menggambarkan pengagungan tersebut dengan kalimat “Kita menuju makam Nabi SAW yang mulia sekalipun harus berjalan dengan kelopak mata (bait 4048).
Hal ini sangat kontradiksi dengan pemandangan sekarang. Suasana khusyu’ dan khidmat di makam Nabi SAW kini berubah menjadi seram. Orang-orang bayaran wahhabi dengan congkaknya membelakangi makam Nabi yang mulia. Mata mereka memelototi peziarah dan membentak-bentak mereka yang sedang bertawassul kepada beliau SAW dengan tuduhan syirik dan bid’ah. Tidakkah mereka menghormati jasad makhluk termulia di semesta ini..? Tidakkah mereka ingat firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras, sebagaimana
kerasnya suara sebagian kamu terhadap yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah, mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa.
Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS Al Hujarat, 49: 2-3).
-- To be continued --
Jumat, 12 Februari 2010
Senin, 08 Februari 2010
Masa Depan Ikhwanul Muslimin
Oleh: Fathuddin Ja’far
Panasnya suhu politik di kalangan Ikhwanul Muslimin di Mesir sekarang ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Paling tidak ada dua kategori kelompok yang concern terhadap perkembangan terakhir Ikhwanul Muslimin, khususnya terkait pemilihan Mursyid Am (pimpinan tertinggi Ikhwan) yang akan menggantikan Dr. Mahdi Akif yang akan berakhir Januari 2010 ini.
Kelompok pertama, yang mengharapkan Ikhwan sebagai Kubrol Harokah Al-Islamiyah (Gerakan Islam Terbesar) masa kini tetap memiliki program mengembalikan eksistensi umat sampai berdirinya kembali Khilafah Islamiyah.
Kelompok kedua, yang menginginkan Ikhwan tunduk kepada situasi dan kondisi yang berkembang, baik di tingkat lokal, yakni Mesir maupun di tingkat global, sehingga misi pengembalian eksistensi umat yang dirancang pendirinya, As-Syahid Hasan Al-Banna kandas di tengah jalan.
Kelompok kedua ini, paling tidak diwakili oleh pemerintah Mesir sendiri dan berbagai kekuatan dunia lain yang tidak ingin melihat Ikhwanul Muslimin bergerak sesuai manhaj (konsep) dasar yang dirumuskan pendirinya Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-banna rahimahullah.
Tulisan ini tidak bertujuan mengomentari kelompok kedua, akan tetapi terkait dengan kelompok pertama, yakni yang menginginkan Ikhwan tetap diharapkan mampu berperan dalam mengembalikan kejayaan umat Islam yang sudah hilang sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah Usmaniyah yang berpusat di Turkey tahun 1924 di tangan Mustafa Kemal Ataturk.
Background Sejarah
Untuk memahami Ikhwanul Muslimin dengan baik kita perlu memahami situasi dan kondisi umat Islam saat gerakan tersebut didirikan, yakni tahun 1928. Saat Ikhwanul Muslimin dideklarasikan Hasan Al-Banna bersama 6 orang sahabatnya, Khilafah Usmaniyah yang berpusat di Turkey sudah jatuh 4 tahun sebelumnya, yakni 1924.
Kejatuhan Khilafah Islamiyah yang berusia enam abad itu menyebabkan umat Islam benar-benar berada di bawah kendali kaum Kolonialis Barat Kristen dan dominasi konspirasi Yahudi. Dunia Islam tercabik-cabik oleh paham nasionalisme sempit sehingga dengan mudah dikapling (dipetak-petak) oleh kaum penjajah menjadi lebih dari 50 negara, yang sebagiannya hanya berpenduduk ratusan ribu jiwa, seperti sebagian Negara Teluk dan beberapa negara di Asia.
Target kaum penjajah berhasil dengan bangkitnya spirit nasionalisme masing-masing suku dan kabilah yang ada di dunia Islam yang membentang dari Jakarta sampai Maroko.
Nasionalisme telah merusak dan merobek pikiran, tubuh, negeri, ukhuwah Islamiyah dan sekaligus meruntuhkan Negara superpower mereka serta mencabut izzah (kemuliaan) diri mereka sehingga umat Islam di seluruh dunia dengan mudah dijajah dan dikendalikan oleh kaum kolonialis Barat Kristen.
Komentar Amir Faisal (Raja Arab) : Ikhwanul Muslimin adalah pahlawan yang berjihad fi sabilillah dengan jiwa dan harta mereka.
Yang lebih memprihatinkan lagi, Palestina sebagai tanah suci umat Islam yang ketiga dan kawasan negeri Syam lainnya berhasil pula diduduki oleh Inggris dan direkayasa sebagai cikal bakal Negara kaum Yahudi dengan berkolaborasi dengan negara-negara adidaya saat itu seperti Prancis dan Uni Soviet.
Di tengah situasi seperti itu, tokoh umat Islam dan para ulamanya, termasuk ulama kalangan Al-Azhar sibuk berdebat soal furu’iyah fiqhiyyah (cabang-cabang hukum Islam) seperti qunut dan sebagainya sehingga lupa atau sengaja melupakan masalah-masalah fundamental Islam seperti al-wala' wal baro' (loyalitas dan disloyalitas) terhadap pemimpin yang kafir, jihad melawan penjajah, masalah kemiskinan, kebodohan, penerapan hukum Islam dan sebagainya.
Umat Islam saat itu, tak terkecuali di Mesir sendiri benar-benar ibarat anak ayam kehilangan induknya. Sementara kaum penjajah Barat Kristen semakin menancapkan hegemoninya dengan mengusai semua kekuatan dan potensi umat Islam yang ada. Bahkan hukum Islam yang berabad-abad lamanya menjadi aturan kehidupan dirubah dengan hukum barat sekular dan sebagiannya berdasarkan spirit agama Kristen.
Situasi, kondisi dan semua masalah tersebut merupakan titik tolak keprihatian seorang anak muda yang bernama Hasan Al-Banna. Keprihatinan itu beliau rumuskan dengan sangat baik dan matang dalam sebuah gerakan dakwah yang diberi nama dengan Ikhwanul Muslimin. Lalu Ikhwanul Muslimin dideklarasikan sebagai sebuah gerakan dakwah yang komprehensif, baik pemikiran, konsep maupun program dan aktivitasnya.
Ideologi dan Manhaj Ikhwan
Ada dua hal yang sangat menentukan apakah sebuah gerakan dakwah itu akan menjadi sebuah gerakan yang mendunia dan berumur panjang, atau hanya menjadi gerakan bersifat lokal dan berumur pendek. Pertama, ideologi dan kedua ialah manhaj. Kalau kita lihat gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, bahwa ideologinya adalah Islam itu sendiri. Yakni, Islam yang berasal dari Allah Ta’ala dan diturunkan untuk seluruh umat manusia, tanpa kecuali.
Hasan Al-Banna bersama pasukan Mujahidin Ikhwanul Muslimin
Hasan Al-Banna dalam tulisanya yang berjudul ”Da’watuna Fi Thaurin Jadid” menjelaskan : “Karakteristik dakwah kita yang sangat spesifik ialah Robbaniyyah ‘Alamiyah (Ketuhanan Allah dan Global). Artinya, dasar yang melandasi semua tujuan kita ialah bahwa manusia harus mengenal Tuhan Pencipta mereka dan dari hubungan ruhaniyah karimah (spiritulaitas mulia) itulah jiwa mereka terangkat dari kebekuan material yang tuli dan keras kepada kesucian kemanusiaan yang mulia dan indah.
Kita, Ikhwanul Muslimin, menyuarakan dari setiap lubuk hati kita : Allahu ghoyatuna (Allah adalah tujuan kami). Sebab itu, target utama dakwah ini ialah bahwa manusia kembali mengingat hubungan ini (hubungan keimanan) yang menghubungkan mereka dengan Allah Tabaraka Wata’ala yang telah lama mereka lupakan.
Karena itu, Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. “Wahai manusia, sembahlah Tuhan Penciptamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. (QS.Al-Baqarah ; 21). Dalam keterkunciaannya (hati), maka ini adalah anak kunci yang pertama yang akan membuka gembok-gembok persoalan kemanusian yang beku dan materialistik di kalangan semua umat manusia. Mereka tidak akan menemukan soluisinya dan tidak akan ada perbaikan tanpa kunci ini.”
Hasan Al-Banna memimpin sholat pasukan Mujahidin Ikhwanul Muslimin
Kemudian beliau menjelaskan : ”Adapun dakwah kita bersifat alamiyyah (global), karena ditujukan kepada seluruh umat manusia, karena pada dasarnya semua manusia besaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, keturunan mereka satu dan tidak ada yang melebihkan antara seorang dengan yang lain kecuali hanya taqwallah dan apa yang diberikan kepada sekelompok lain berupa kebaikan dan keutamaan yang banyak”.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Pencipta-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. Annisa’ : 1)
“Sebab itu, kita tidak mempercayai hubungan yang dibangun di atas dasar kebangsaan (nasionalisme) dan kita juga tidak akan memotivasi hubungan yang dibangun di atas dasar kesukuan dan warna kulit. Akan tetapi, kita akan menyeru kepada persaudaraan yang adil dan penuh kasih sayang di antara manusia”, ujar Al-Banna.
Saat menutup penjelasan “Risalah Ta’lim”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “Ini adalah ringkasan dakwah Anda, penjalasan singkat fikroh (ideologi) Anda dan Anda dapat menghimpunkannya dalam lima prinsip: 1. Allahu ghoyatuna (Alah adalah tujuan kami). 2. Ar-Rasulu Qudwatuna (Rasul saw. adalah teladan kami). 3. Al-Qur’anu syir’atuna (Al-Qur’an adalah dasar hukum kami). 4. Al-Jihadu sabiluna (Jihad adalah jalan kami). 5. Asy-syahadatu umniyatuna (Mati Syahid adalah cita-cita kami).
Demikian pula ketika menjelaskan shibghah (format) pemikiran dan ideologi dalam ”Da’watuna Fi Thaurin Jadid”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “Kita menginginkan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim dan masyarakat Muslim. Akan tetapi, sebelum segala sesuatunya, kita menginginkan tersebarnya fikrah (idoelogi) Islam sehingga mampu mempengaruhi semua kondisi itu dan memformatnya dengan format Islam. Tanpa format Islam, kita tidak akan mencapai apa-apa. Kita ingin mengembangkan fikroh independen yang hanya bersandar atas dasar Islam yang lurus, bukan bersandar atas dasar fikroh tradisional yang menyebabkan kita terikat pada teori-teori Barat dan orientasi berfikir mereka dalam segala sesuatu.”
Terkait dengan manhaj, Ikhwanul Muslimin tidak hanya memiliki manhaj dakwah yang ashil (orisinil) secara konseptual, akan tetapi berhasil merumuskan manhaj amali (konsep praktis) yang aplikatif dan sangat jelas dan mudah untuk dipahami. Menariknya lagi, manhaj amali tersebut dimasukkan ke dalam arkanul bai’ah (komitment dakwah) setiap anggota jamaah Ikhwan pada poin ketiga, yakni AMAL , setelah FAHAM dan IKHLASH.
Untuk pengertian AMAL, Hsalan Al-Banna mejelaskan: “Yang saya maksudkan dengan AMAL itu ialah buah ilmu dan ikhlas. Kemudian Beliau menjelaskan maratib (tingkatan) AMAL itu ada tujuh :
Memperbaiki diri sehingga memiliki 10 karakter mulia (Fisik kuat, akhlak kokoh, wawasan luas, memiliki profesi ma’isyah, aqidah bersih, ibadah benar, mampu mengendalikan syahwat, manajemen waktu baik, urusan teratur dan memiliki tanggung jawab sosial).
Membentuk rumah tangga Muslim sehingga keluarganya menghormati fikrahnya dan konsisten terhadap nilai-nilai Islam.
Mengayomi masyarakat dengan menyebarkan dakwah kebaikan, memerangi keburukan dan kemungkaran serta memotivasi masyarakat terhadap hal-hal yang bermutu.
Memerdekakan tanah air Islam dan membersihkannya dari setiap pengaruh / kekuasaan asing yang tidak Islami, baik politik, ekonomi maupun spiritualitas.
Memperbaiki pemerintahan sehingga menjadi benar-benar Islami. Hanya dengan itulah pemerintah benar-benar mampu menjadi pelayan umat atau pegawai masyarakat.
Mengembalikan bangunan Umat Islam internasional dengan memerdekakan setiap tanah air mereka dan menghidupkan kemuliaannya, menghadirkan budayanya, menghimpun kekuatannya sehingga dengan demikian dapat mengembalikan Khilafah (sistem pemerintahan Islam Internasional) yang hilang dan terjalinnya kesatuan yang diharapkan.
Sokoguru bagi dunia internasional, dengan tersebarnya dakwah Islam di seluruh penjuru bumi sehingga tidak ada lagi kezaliman dan agama ini semuanya milik Allah.”Dan Allah tidak ingin kecuali menyempurnakan cahaya-Nya”. (QS. Attaubah : 32).
Terkait dengan orisinilitas Islam dan syumuliyyatul manhaj (konprehensifitas manhaj), dalam “Risalah Muktmar Al-Khomis”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “ Karena itu, saya wakafkan diri saya sejak kecil untuk satu tujuan, yaitu menunjukkan manusia kepada Islam, hakikat dan prakteknya. Sebab itu, fikrah (ideologi) Ikhwanul Muslimin adalah Islam murni, baik dalam tujuannya, maupun sarananya dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan selain Islam.
Untuk lebih mudah dipahami, Beliau mengatakan : “Fikrah Ikhwanul Muslimin itu mencakup semua makna ishlah (reformasi). Sebab itu, dapat disimpulkan dengan : 1) Dakwah Salafiyah. 2) Thariqah Suniyyah. 3)Haqiqah Shufiyyah. 4) Hai-atun siyasiyyah. 5) Jama’ah riyadhiyyah. 6) Rabithatun ilmiyyah tsaqafiyyah. 7) Syirkatun Iqtishadiyyah dan Fikrah Ijtimaiyyah.
Musibah Musyarokah
Situasi yang berkembang sekarang di kalangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, khususnya di kalangan para elitenya, sedikit banyak akan mempengaruhi masa depan gerakan Ikhwanul Muslimin, baik di tingkat lokal (Mesir) maupun di tingkat global (dunia Islam). Sebagai sebuah gerakan dakwah terbesar di Mesir dan tersebar pemikirannya di seluruh penjuru dunia Islam, maka para pemimpin Ikhwanul Muslimin tidak perlu memperlihatkan kondisi internal mereka secara terbuka seperti yang terjadi dua bulan terakhir ini.
Berdasarkan puluhan tulisan dan wawancara para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang tersebar di berbagai media dua bulan terakhir ini, kiranya dapat dipahami bahwa mereka sedang mengalami suatu kondisi yang kritis. Kondisi kritis yang dapat menjadi ancaman tersebut datang dari dua kubu yang mereka namakan dengan kubu konservatif dan kubu reformis.
Anehnya, kalau kita lihat apa yang mereka persoalkan itu ternyata hanya sebatas AD dan ART jama’ah, bukan terkait dengan fikroh, manhaj dan program Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah gerakan dakwah yang bertujuan mengembalikan kejayaan umat . Artinya, perkembangan yang ada sekarang lebih bernuansa politis yang sifatnya elitis. Dengan kata lain, saling memperebutkan kepemimpinan organisasi atau jamaah. Hal semacam ini belum pernah terjadi di zaman Umar At-Tilmisani atau Hasan Hudhaibi, apalagi di zaman Hasan Al-Banna.
Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Al-Hudhaibi pada Islamoline 03-11-2009 : “Ancaman terbesar yang sedang mengelilingi Ikhwan bukanlah dari pihak keamanan (Mesir). Karena bagaimanapun (pihak kemanan Mesir) tidak akan mampu mempengaruhi pemikiran dan manhajnya. Akan tetapi ancaman terbesar terhadap Ikhwan ialah yang datang dari dalam, yakni saat jamaah Ikhwan sudah menjadi legalitas atas dirinya sendiri dan tidak mau menerima pendapat para Ulama, kecuali yang sesuai dengan agendanya."
Pada akhirnya, agenda-agenda itu akan menjadi aspek legalitas sedangkan para Ulama hanya sarana untuk melayani agenda-agenda itu (tukang stempel). Saat itulah Ikhwan sebenarnya – seperti yang diungkapkan musuh-musuhnya dengan “illegal” – memperalat agama untuk melayani politik, bukan sebaliknya. Semoga hal itu tidak terjadi.”
Sesungguhnya persolaan yang sedang dihadapi Ikhwanul Muslimin di Mesir sekarang adalah persoalan percaturan dikalangan elite internal yang saling memperebutkan kekuasaan organisasi. Sumbernya tak lain adalah ketika, Ikhwan sudah memasuki ranah politik praktis, dan politik sudah menjadi agenda utama, maka secara otomatis membuka peluang saling bersaing tidak sehat. Tarbiyahpun tidak berjalan dengan baik dan efektif. Ditambah lagi faktor lain yang tak kalah dahsyatnya, yaitu tertular virus politik praktis jahiliyah, sehingga dorongan untuk menduduki kekuasaan internal semakin tak terbendung, karena secara otomatis akan dapat mempunyai nilai tawar dan pengaruh politik eksternal, khususnya dengan penguasa dan pemerintah untuk menikmati kue musyarokah. Apalagi Ikhwanul Muslimin adalah gerakan dakwah terbesar yang terlibat politik praktis, sudah pasti memiliki nilai tawar yang tinggi di mata lawan politik mereka.
Fakta membuktikan bahwa sejak IKhwan mendapat angin segar untuk terlibat politik praktis atau musyarokah di akhir 70an dan awal 80an, yakni di mana Presiden Anwar Sadat meniupkan iklim keterbukaan, sejak itulah mulailah bibit-bibit perpecahan di kalangan elitnya tumbuh. Suasana keterbukaan itu mereka sambut dengan istilah musyarokah (koalisi) dengan pemerintah.
Merekapun mendapat jatah beberapa menteri di pemerintahan dan bahkan puluhan tokohnya menjadi anggota parlemen. Persoalannya kemudian ialah, semua potensi jamaah habis digunakan untuk berbagai kegiatan politik praktis seperti pemilu dan sebagainya. Pada waktu yang sama, tarbiyah (kaderisasi) dan program dakwah praktis lainnya, menjadi berantakan dan program perbaikan pemerintah dan masyarakat tak kunjung dapat dicapai.
Sebabnya tidak lain adalah terlena dengan puluhan kursi legislative dan jatah beberapa kursi menteri yang dilandasi penafsiran yang keliru terkait kasus Nabi Yusuf meminta jabatan. Padahal menurut manhaj Ikhwanul Muslimin sendiri, politik itu hanya satu dari 8 pilar gerakan dakwah Ikhwan.
Melihat fakta dan kenyataan tersebut, Mustafa Masyhur tahun 1986 menulis sebuah buku yang diberi judul dengan “Jalan Dakwah, antara Orisinilitas dan Penyimpangan”. Di antaranya beliau menjelaskan : Musyarokah dengan pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
Jika terbuka peluang, Musyarokah harus berdasarkan analisa syar'iyyah yang amat teliti. Musyarokah tidak lain hanya langkah yang diperlukan (milestone) untuk menuju sebuah pemerintahan Islam secara menyeluruh. Musyarokah seperti itu tidak masalah asalkan terpenuhi persyaratan yang menjamin terealisasinya tujuan utama dan dengan kesepakatan- kesepakatan yang jelas. Masalah ini tidak boleh diserahkan kepada ijitihad individu (pemimpin).
Jika kesepakatan tersebut diingkari (oleh pihak yang kita bermusyarokah dengannya) atau terjadi pergeseran niat (dari pihak kita), maka musyarokah harus segera ditinggalkan, agar kita tidak terjebak pada tipu muslihat dan memalingkan dari target-target besar kita dan rela hanya dengan jalan tengah (kompromi) tanpa melahirkan solusi yang mendasar dan fundamental.
Kesimpulan
Setelah 30 tahun Ikhwanul Muslimun di Mesir, termasuk juga di Jordania dan beberapa Negara Arab dan Afrika Lainnya terlibat politik praktis. Saatnya Ikhwanul Muslimin mengevaluasi secara total dan teliti maslahat dan mudharat yang didapatkan selama 30 tahun belakangan ini. 30 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebagai perbandingan, di bawah kepemimpinan Hasan Al-Banna, 20 tahun cukup bagi Ikhwanul Muslimin untuk mengguncang dunia, sehingga sepak terjang mereka di Mesir dan dunia Arab lainnya wabil khusus di Palestina nyaris mengalahkan pasukan Yahudi yang terlatih dan dapat dukungan dunia internasional. Kalaulah tidak karena kospirasi dan pengkhianatan para pemimpin Arab saat itu, sangat besar peluang Ikhwanul Muslimin memenangkan jihad melawan Yahudi pada 1948 itu.
Sebab itu, musuh Islam sepakat bahwa Hasan Al-banna dan beberapa tokoh Ikhwan lainnya harus dibunuh dan Ikhwanul Muslimin harus diberangus, baik SDM nya maupun asset dan kekayaannya. Maka pada 12 Februari 1949, Al-Banna pun dibunuh sehingga beliau meraih cita-citanya, yakni mati syahid di jalan Allah. Alangkah baiknya jika para petinggi Ikhwan saat ini membuka mata hati dan mata kepala mereka terhadap lembaran putih sejarah mereka, khususnya 20 tahun pertama berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin, agar tidak berkutat pada persoalan kekuasaan internal dan bisa keluar dari conflict interest jangka pendek yang sama sekali bukan ajaran Ikhwanul Muslimin.
Agar evaluasi maslahat dan mudharat, serta kemajuan dan kemunduran dakwah itu adil dan objektif, maka selayaknya alat ukur dan standar yang dipakai dari pemikiran dan konsep dakwah yang dirumuskan oleh pendidrinya, yakni Hasan Al-Banna itu sendiri, bukan dari persoalan AD dan ART-nya, apalagi hanya karena hidden agenda para elitenya. Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat memberikan jawaban yang pasti dan jujur :
Sudah berapa banyak pribadi Muslim yang memiliki 10 karakter mulia terbentuk?
Sudah berapa banyak keluarga Muslim yang mumpuni terbentuk?
Sudah berapa banyak terjadi perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya dan sebagainya?
Sudah berapa pula dilakukan Islamisasi hukum dan peraturan dalam pemerintahan selama musyarokah?
Sudah berapa banyak persoalan negeri terbebas dari pengaruh dan dominasi asing, khususnya ekonomi, politik, penididikan, hukum, keamanan, militer dan budaya?
Sudah berapa kuat jalinan dan hubungan antara negeri-negeri Islam dalam merakit kembali kekuatan mengembalikan sistem Khilafah yang hilang sejak 1924?
Sudah adakah secercah cahaya bahwa umat ini secara keseluruhan siap menjadi sokoguru dunia?
Kalau pertanyaan-pertanya an di atas dapat dijawab dengan positif dan dengan angka yang menggembirakan atau logis, mari kita puji Allah dan ucapkan selamat pada Ikhwanul Muslimin. Namun jika jawabannya negatif, para petinggi Ikhwanul Muslimin perlu segera mengevaluasi diri atas kekeliruan langkah dakwah yang diambil selama 30 tahun belakangan ini.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa para pemimpinnya sedang berada di jalan yang berbeda dengan apa yang digariskan dan dirumuskan Hasan Al-Banna rahimahullah. Saat itulah Allah bukan lagi jadi tujuan. Rasul bukan lagi jadi panutan. Qur’an bukan lagi jadi sumber hukum dan peraturan. Jihad bukan lagi jadi jalan dakwah dan izzatul Islam wal muslimin. Mati syahid bukan lagi jadi cita-cita yang tertinggi.
Sebab itu tidak heran, jika kualitas Jamaah Ikhwan dan pencapaian perjuangan dakwahnya 30 tahun terakhir sangat jauh berbeda dari Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Hasan Al-Banna selama 20 tahun pertama sampai Beliau syahid 1948. Semoga menjadi pelajaran bagi gerakan dakwah di negeri ini, khususnya bagi yang mengklaim menjadi penganut gerakan Ikhwanul Muslimin. Allahumma aamiin…
Panasnya suhu politik di kalangan Ikhwanul Muslimin di Mesir sekarang ini banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Paling tidak ada dua kategori kelompok yang concern terhadap perkembangan terakhir Ikhwanul Muslimin, khususnya terkait pemilihan Mursyid Am (pimpinan tertinggi Ikhwan) yang akan menggantikan Dr. Mahdi Akif yang akan berakhir Januari 2010 ini.
Kelompok pertama, yang mengharapkan Ikhwan sebagai Kubrol Harokah Al-Islamiyah (Gerakan Islam Terbesar) masa kini tetap memiliki program mengembalikan eksistensi umat sampai berdirinya kembali Khilafah Islamiyah.
Kelompok kedua, yang menginginkan Ikhwan tunduk kepada situasi dan kondisi yang berkembang, baik di tingkat lokal, yakni Mesir maupun di tingkat global, sehingga misi pengembalian eksistensi umat yang dirancang pendirinya, As-Syahid Hasan Al-Banna kandas di tengah jalan.
Kelompok kedua ini, paling tidak diwakili oleh pemerintah Mesir sendiri dan berbagai kekuatan dunia lain yang tidak ingin melihat Ikhwanul Muslimin bergerak sesuai manhaj (konsep) dasar yang dirumuskan pendirinya Al-Imam Asy-Syahid Hasan Al-banna rahimahullah.
Tulisan ini tidak bertujuan mengomentari kelompok kedua, akan tetapi terkait dengan kelompok pertama, yakni yang menginginkan Ikhwan tetap diharapkan mampu berperan dalam mengembalikan kejayaan umat Islam yang sudah hilang sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah Usmaniyah yang berpusat di Turkey tahun 1924 di tangan Mustafa Kemal Ataturk.
Background Sejarah
Untuk memahami Ikhwanul Muslimin dengan baik kita perlu memahami situasi dan kondisi umat Islam saat gerakan tersebut didirikan, yakni tahun 1928. Saat Ikhwanul Muslimin dideklarasikan Hasan Al-Banna bersama 6 orang sahabatnya, Khilafah Usmaniyah yang berpusat di Turkey sudah jatuh 4 tahun sebelumnya, yakni 1924.
Kejatuhan Khilafah Islamiyah yang berusia enam abad itu menyebabkan umat Islam benar-benar berada di bawah kendali kaum Kolonialis Barat Kristen dan dominasi konspirasi Yahudi. Dunia Islam tercabik-cabik oleh paham nasionalisme sempit sehingga dengan mudah dikapling (dipetak-petak) oleh kaum penjajah menjadi lebih dari 50 negara, yang sebagiannya hanya berpenduduk ratusan ribu jiwa, seperti sebagian Negara Teluk dan beberapa negara di Asia.
Target kaum penjajah berhasil dengan bangkitnya spirit nasionalisme masing-masing suku dan kabilah yang ada di dunia Islam yang membentang dari Jakarta sampai Maroko.
Nasionalisme telah merusak dan merobek pikiran, tubuh, negeri, ukhuwah Islamiyah dan sekaligus meruntuhkan Negara superpower mereka serta mencabut izzah (kemuliaan) diri mereka sehingga umat Islam di seluruh dunia dengan mudah dijajah dan dikendalikan oleh kaum kolonialis Barat Kristen.
Komentar Amir Faisal (Raja Arab) : Ikhwanul Muslimin adalah pahlawan yang berjihad fi sabilillah dengan jiwa dan harta mereka.
Yang lebih memprihatinkan lagi, Palestina sebagai tanah suci umat Islam yang ketiga dan kawasan negeri Syam lainnya berhasil pula diduduki oleh Inggris dan direkayasa sebagai cikal bakal Negara kaum Yahudi dengan berkolaborasi dengan negara-negara adidaya saat itu seperti Prancis dan Uni Soviet.
Di tengah situasi seperti itu, tokoh umat Islam dan para ulamanya, termasuk ulama kalangan Al-Azhar sibuk berdebat soal furu’iyah fiqhiyyah (cabang-cabang hukum Islam) seperti qunut dan sebagainya sehingga lupa atau sengaja melupakan masalah-masalah fundamental Islam seperti al-wala' wal baro' (loyalitas dan disloyalitas) terhadap pemimpin yang kafir, jihad melawan penjajah, masalah kemiskinan, kebodohan, penerapan hukum Islam dan sebagainya.
Umat Islam saat itu, tak terkecuali di Mesir sendiri benar-benar ibarat anak ayam kehilangan induknya. Sementara kaum penjajah Barat Kristen semakin menancapkan hegemoninya dengan mengusai semua kekuatan dan potensi umat Islam yang ada. Bahkan hukum Islam yang berabad-abad lamanya menjadi aturan kehidupan dirubah dengan hukum barat sekular dan sebagiannya berdasarkan spirit agama Kristen.
Situasi, kondisi dan semua masalah tersebut merupakan titik tolak keprihatian seorang anak muda yang bernama Hasan Al-Banna. Keprihatinan itu beliau rumuskan dengan sangat baik dan matang dalam sebuah gerakan dakwah yang diberi nama dengan Ikhwanul Muslimin. Lalu Ikhwanul Muslimin dideklarasikan sebagai sebuah gerakan dakwah yang komprehensif, baik pemikiran, konsep maupun program dan aktivitasnya.
Ideologi dan Manhaj Ikhwan
Ada dua hal yang sangat menentukan apakah sebuah gerakan dakwah itu akan menjadi sebuah gerakan yang mendunia dan berumur panjang, atau hanya menjadi gerakan bersifat lokal dan berumur pendek. Pertama, ideologi dan kedua ialah manhaj. Kalau kita lihat gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin, bahwa ideologinya adalah Islam itu sendiri. Yakni, Islam yang berasal dari Allah Ta’ala dan diturunkan untuk seluruh umat manusia, tanpa kecuali.
Hasan Al-Banna bersama pasukan Mujahidin Ikhwanul Muslimin
Hasan Al-Banna dalam tulisanya yang berjudul ”Da’watuna Fi Thaurin Jadid” menjelaskan : “Karakteristik dakwah kita yang sangat spesifik ialah Robbaniyyah ‘Alamiyah (Ketuhanan Allah dan Global). Artinya, dasar yang melandasi semua tujuan kita ialah bahwa manusia harus mengenal Tuhan Pencipta mereka dan dari hubungan ruhaniyah karimah (spiritulaitas mulia) itulah jiwa mereka terangkat dari kebekuan material yang tuli dan keras kepada kesucian kemanusiaan yang mulia dan indah.
Kita, Ikhwanul Muslimin, menyuarakan dari setiap lubuk hati kita : Allahu ghoyatuna (Allah adalah tujuan kami). Sebab itu, target utama dakwah ini ialah bahwa manusia kembali mengingat hubungan ini (hubungan keimanan) yang menghubungkan mereka dengan Allah Tabaraka Wata’ala yang telah lama mereka lupakan.
Karena itu, Allah menjadikan mereka lupa terhadap diri mereka sendiri. “Wahai manusia, sembahlah Tuhan Penciptamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, semoga kamu menjadi orang-orang yang bertakwa”. (QS.Al-Baqarah ; 21). Dalam keterkunciaannya (hati), maka ini adalah anak kunci yang pertama yang akan membuka gembok-gembok persoalan kemanusian yang beku dan materialistik di kalangan semua umat manusia. Mereka tidak akan menemukan soluisinya dan tidak akan ada perbaikan tanpa kunci ini.”
Hasan Al-Banna memimpin sholat pasukan Mujahidin Ikhwanul Muslimin
Kemudian beliau menjelaskan : ”Adapun dakwah kita bersifat alamiyyah (global), karena ditujukan kepada seluruh umat manusia, karena pada dasarnya semua manusia besaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, keturunan mereka satu dan tidak ada yang melebihkan antara seorang dengan yang lain kecuali hanya taqwallah dan apa yang diberikan kepada sekelompok lain berupa kebaikan dan keutamaan yang banyak”.
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan Pencipta-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. Annisa’ : 1)
“Sebab itu, kita tidak mempercayai hubungan yang dibangun di atas dasar kebangsaan (nasionalisme) dan kita juga tidak akan memotivasi hubungan yang dibangun di atas dasar kesukuan dan warna kulit. Akan tetapi, kita akan menyeru kepada persaudaraan yang adil dan penuh kasih sayang di antara manusia”, ujar Al-Banna.
Saat menutup penjelasan “Risalah Ta’lim”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “Ini adalah ringkasan dakwah Anda, penjalasan singkat fikroh (ideologi) Anda dan Anda dapat menghimpunkannya dalam lima prinsip: 1. Allahu ghoyatuna (Alah adalah tujuan kami). 2. Ar-Rasulu Qudwatuna (Rasul saw. adalah teladan kami). 3. Al-Qur’anu syir’atuna (Al-Qur’an adalah dasar hukum kami). 4. Al-Jihadu sabiluna (Jihad adalah jalan kami). 5. Asy-syahadatu umniyatuna (Mati Syahid adalah cita-cita kami).
Demikian pula ketika menjelaskan shibghah (format) pemikiran dan ideologi dalam ”Da’watuna Fi Thaurin Jadid”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “Kita menginginkan pribadi Muslim, rumah tangga Muslim dan masyarakat Muslim. Akan tetapi, sebelum segala sesuatunya, kita menginginkan tersebarnya fikrah (idoelogi) Islam sehingga mampu mempengaruhi semua kondisi itu dan memformatnya dengan format Islam. Tanpa format Islam, kita tidak akan mencapai apa-apa. Kita ingin mengembangkan fikroh independen yang hanya bersandar atas dasar Islam yang lurus, bukan bersandar atas dasar fikroh tradisional yang menyebabkan kita terikat pada teori-teori Barat dan orientasi berfikir mereka dalam segala sesuatu.”
Terkait dengan manhaj, Ikhwanul Muslimin tidak hanya memiliki manhaj dakwah yang ashil (orisinil) secara konseptual, akan tetapi berhasil merumuskan manhaj amali (konsep praktis) yang aplikatif dan sangat jelas dan mudah untuk dipahami. Menariknya lagi, manhaj amali tersebut dimasukkan ke dalam arkanul bai’ah (komitment dakwah) setiap anggota jamaah Ikhwan pada poin ketiga, yakni AMAL , setelah FAHAM dan IKHLASH.
Untuk pengertian AMAL, Hsalan Al-Banna mejelaskan: “Yang saya maksudkan dengan AMAL itu ialah buah ilmu dan ikhlas. Kemudian Beliau menjelaskan maratib (tingkatan) AMAL itu ada tujuh :
Memperbaiki diri sehingga memiliki 10 karakter mulia (Fisik kuat, akhlak kokoh, wawasan luas, memiliki profesi ma’isyah, aqidah bersih, ibadah benar, mampu mengendalikan syahwat, manajemen waktu baik, urusan teratur dan memiliki tanggung jawab sosial).
Membentuk rumah tangga Muslim sehingga keluarganya menghormati fikrahnya dan konsisten terhadap nilai-nilai Islam.
Mengayomi masyarakat dengan menyebarkan dakwah kebaikan, memerangi keburukan dan kemungkaran serta memotivasi masyarakat terhadap hal-hal yang bermutu.
Memerdekakan tanah air Islam dan membersihkannya dari setiap pengaruh / kekuasaan asing yang tidak Islami, baik politik, ekonomi maupun spiritualitas.
Memperbaiki pemerintahan sehingga menjadi benar-benar Islami. Hanya dengan itulah pemerintah benar-benar mampu menjadi pelayan umat atau pegawai masyarakat.
Mengembalikan bangunan Umat Islam internasional dengan memerdekakan setiap tanah air mereka dan menghidupkan kemuliaannya, menghadirkan budayanya, menghimpun kekuatannya sehingga dengan demikian dapat mengembalikan Khilafah (sistem pemerintahan Islam Internasional) yang hilang dan terjalinnya kesatuan yang diharapkan.
Sokoguru bagi dunia internasional, dengan tersebarnya dakwah Islam di seluruh penjuru bumi sehingga tidak ada lagi kezaliman dan agama ini semuanya milik Allah.”Dan Allah tidak ingin kecuali menyempurnakan cahaya-Nya”. (QS. Attaubah : 32).
Terkait dengan orisinilitas Islam dan syumuliyyatul manhaj (konprehensifitas manhaj), dalam “Risalah Muktmar Al-Khomis”, Hasan Al-Banna menjelaskan : “ Karena itu, saya wakafkan diri saya sejak kecil untuk satu tujuan, yaitu menunjukkan manusia kepada Islam, hakikat dan prakteknya. Sebab itu, fikrah (ideologi) Ikhwanul Muslimin adalah Islam murni, baik dalam tujuannya, maupun sarananya dan tidak ada kaitannya sama sekali dengan selain Islam.
Untuk lebih mudah dipahami, Beliau mengatakan : “Fikrah Ikhwanul Muslimin itu mencakup semua makna ishlah (reformasi). Sebab itu, dapat disimpulkan dengan : 1) Dakwah Salafiyah. 2) Thariqah Suniyyah. 3)Haqiqah Shufiyyah. 4) Hai-atun siyasiyyah. 5) Jama’ah riyadhiyyah. 6) Rabithatun ilmiyyah tsaqafiyyah. 7) Syirkatun Iqtishadiyyah dan Fikrah Ijtimaiyyah.
Musibah Musyarokah
Situasi yang berkembang sekarang di kalangan Ikhwanul Muslimin di Mesir, khususnya di kalangan para elitenya, sedikit banyak akan mempengaruhi masa depan gerakan Ikhwanul Muslimin, baik di tingkat lokal (Mesir) maupun di tingkat global (dunia Islam). Sebagai sebuah gerakan dakwah terbesar di Mesir dan tersebar pemikirannya di seluruh penjuru dunia Islam, maka para pemimpin Ikhwanul Muslimin tidak perlu memperlihatkan kondisi internal mereka secara terbuka seperti yang terjadi dua bulan terakhir ini.
Berdasarkan puluhan tulisan dan wawancara para pemimpin Ikhwanul Muslimin yang tersebar di berbagai media dua bulan terakhir ini, kiranya dapat dipahami bahwa mereka sedang mengalami suatu kondisi yang kritis. Kondisi kritis yang dapat menjadi ancaman tersebut datang dari dua kubu yang mereka namakan dengan kubu konservatif dan kubu reformis.
Anehnya, kalau kita lihat apa yang mereka persoalkan itu ternyata hanya sebatas AD dan ART jama’ah, bukan terkait dengan fikroh, manhaj dan program Ikhwanul Muslimin sebagai sebuah gerakan dakwah yang bertujuan mengembalikan kejayaan umat . Artinya, perkembangan yang ada sekarang lebih bernuansa politis yang sifatnya elitis. Dengan kata lain, saling memperebutkan kepemimpinan organisasi atau jamaah. Hal semacam ini belum pernah terjadi di zaman Umar At-Tilmisani atau Hasan Hudhaibi, apalagi di zaman Hasan Al-Banna.
Seperti yang ditulis oleh Ibrahim Al-Hudhaibi pada Islamoline 03-11-2009 : “Ancaman terbesar yang sedang mengelilingi Ikhwan bukanlah dari pihak keamanan (Mesir). Karena bagaimanapun (pihak kemanan Mesir) tidak akan mampu mempengaruhi pemikiran dan manhajnya. Akan tetapi ancaman terbesar terhadap Ikhwan ialah yang datang dari dalam, yakni saat jamaah Ikhwan sudah menjadi legalitas atas dirinya sendiri dan tidak mau menerima pendapat para Ulama, kecuali yang sesuai dengan agendanya."
Pada akhirnya, agenda-agenda itu akan menjadi aspek legalitas sedangkan para Ulama hanya sarana untuk melayani agenda-agenda itu (tukang stempel). Saat itulah Ikhwan sebenarnya – seperti yang diungkapkan musuh-musuhnya dengan “illegal” – memperalat agama untuk melayani politik, bukan sebaliknya. Semoga hal itu tidak terjadi.”
Sesungguhnya persolaan yang sedang dihadapi Ikhwanul Muslimin di Mesir sekarang adalah persoalan percaturan dikalangan elite internal yang saling memperebutkan kekuasaan organisasi. Sumbernya tak lain adalah ketika, Ikhwan sudah memasuki ranah politik praktis, dan politik sudah menjadi agenda utama, maka secara otomatis membuka peluang saling bersaing tidak sehat. Tarbiyahpun tidak berjalan dengan baik dan efektif. Ditambah lagi faktor lain yang tak kalah dahsyatnya, yaitu tertular virus politik praktis jahiliyah, sehingga dorongan untuk menduduki kekuasaan internal semakin tak terbendung, karena secara otomatis akan dapat mempunyai nilai tawar dan pengaruh politik eksternal, khususnya dengan penguasa dan pemerintah untuk menikmati kue musyarokah. Apalagi Ikhwanul Muslimin adalah gerakan dakwah terbesar yang terlibat politik praktis, sudah pasti memiliki nilai tawar yang tinggi di mata lawan politik mereka.
Fakta membuktikan bahwa sejak IKhwan mendapat angin segar untuk terlibat politik praktis atau musyarokah di akhir 70an dan awal 80an, yakni di mana Presiden Anwar Sadat meniupkan iklim keterbukaan, sejak itulah mulailah bibit-bibit perpecahan di kalangan elitnya tumbuh. Suasana keterbukaan itu mereka sambut dengan istilah musyarokah (koalisi) dengan pemerintah.
Merekapun mendapat jatah beberapa menteri di pemerintahan dan bahkan puluhan tokohnya menjadi anggota parlemen. Persoalannya kemudian ialah, semua potensi jamaah habis digunakan untuk berbagai kegiatan politik praktis seperti pemilu dan sebagainya. Pada waktu yang sama, tarbiyah (kaderisasi) dan program dakwah praktis lainnya, menjadi berantakan dan program perbaikan pemerintah dan masyarakat tak kunjung dapat dicapai.
Sebabnya tidak lain adalah terlena dengan puluhan kursi legislative dan jatah beberapa kursi menteri yang dilandasi penafsiran yang keliru terkait kasus Nabi Yusuf meminta jabatan. Padahal menurut manhaj Ikhwanul Muslimin sendiri, politik itu hanya satu dari 8 pilar gerakan dakwah Ikhwan.
Melihat fakta dan kenyataan tersebut, Mustafa Masyhur tahun 1986 menulis sebuah buku yang diberi judul dengan “Jalan Dakwah, antara Orisinilitas dan Penyimpangan”. Di antaranya beliau menjelaskan : Musyarokah dengan pemerintahan yang tidak berhukum dengan hukum Allah.
Jika terbuka peluang, Musyarokah harus berdasarkan analisa syar'iyyah yang amat teliti. Musyarokah tidak lain hanya langkah yang diperlukan (milestone) untuk menuju sebuah pemerintahan Islam secara menyeluruh. Musyarokah seperti itu tidak masalah asalkan terpenuhi persyaratan yang menjamin terealisasinya tujuan utama dan dengan kesepakatan- kesepakatan yang jelas. Masalah ini tidak boleh diserahkan kepada ijitihad individu (pemimpin).
Jika kesepakatan tersebut diingkari (oleh pihak yang kita bermusyarokah dengannya) atau terjadi pergeseran niat (dari pihak kita), maka musyarokah harus segera ditinggalkan, agar kita tidak terjebak pada tipu muslihat dan memalingkan dari target-target besar kita dan rela hanya dengan jalan tengah (kompromi) tanpa melahirkan solusi yang mendasar dan fundamental.
Kesimpulan
Setelah 30 tahun Ikhwanul Muslimun di Mesir, termasuk juga di Jordania dan beberapa Negara Arab dan Afrika Lainnya terlibat politik praktis. Saatnya Ikhwanul Muslimin mengevaluasi secara total dan teliti maslahat dan mudharat yang didapatkan selama 30 tahun belakangan ini. 30 tahun bukanlah waktu yang sebentar. Sebagai perbandingan, di bawah kepemimpinan Hasan Al-Banna, 20 tahun cukup bagi Ikhwanul Muslimin untuk mengguncang dunia, sehingga sepak terjang mereka di Mesir dan dunia Arab lainnya wabil khusus di Palestina nyaris mengalahkan pasukan Yahudi yang terlatih dan dapat dukungan dunia internasional. Kalaulah tidak karena kospirasi dan pengkhianatan para pemimpin Arab saat itu, sangat besar peluang Ikhwanul Muslimin memenangkan jihad melawan Yahudi pada 1948 itu.
Sebab itu, musuh Islam sepakat bahwa Hasan Al-banna dan beberapa tokoh Ikhwan lainnya harus dibunuh dan Ikhwanul Muslimin harus diberangus, baik SDM nya maupun asset dan kekayaannya. Maka pada 12 Februari 1949, Al-Banna pun dibunuh sehingga beliau meraih cita-citanya, yakni mati syahid di jalan Allah. Alangkah baiknya jika para petinggi Ikhwan saat ini membuka mata hati dan mata kepala mereka terhadap lembaran putih sejarah mereka, khususnya 20 tahun pertama berdirinya gerakan Ikhwanul Muslimin, agar tidak berkutat pada persoalan kekuasaan internal dan bisa keluar dari conflict interest jangka pendek yang sama sekali bukan ajaran Ikhwanul Muslimin.
Agar evaluasi maslahat dan mudharat, serta kemajuan dan kemunduran dakwah itu adil dan objektif, maka selayaknya alat ukur dan standar yang dipakai dari pemikiran dan konsep dakwah yang dirumuskan oleh pendidrinya, yakni Hasan Al-Banna itu sendiri, bukan dari persoalan AD dan ART-nya, apalagi hanya karena hidden agenda para elitenya. Beberapa pertanyaan berikut mungkin dapat memberikan jawaban yang pasti dan jujur :
Sudah berapa banyak pribadi Muslim yang memiliki 10 karakter mulia terbentuk?
Sudah berapa banyak keluarga Muslim yang mumpuni terbentuk?
Sudah berapa banyak terjadi perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, khususnya pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya dan sebagainya?
Sudah berapa pula dilakukan Islamisasi hukum dan peraturan dalam pemerintahan selama musyarokah?
Sudah berapa banyak persoalan negeri terbebas dari pengaruh dan dominasi asing, khususnya ekonomi, politik, penididikan, hukum, keamanan, militer dan budaya?
Sudah berapa kuat jalinan dan hubungan antara negeri-negeri Islam dalam merakit kembali kekuatan mengembalikan sistem Khilafah yang hilang sejak 1924?
Sudah adakah secercah cahaya bahwa umat ini secara keseluruhan siap menjadi sokoguru dunia?
Kalau pertanyaan-pertanya an di atas dapat dijawab dengan positif dan dengan angka yang menggembirakan atau logis, mari kita puji Allah dan ucapkan selamat pada Ikhwanul Muslimin. Namun jika jawabannya negatif, para petinggi Ikhwanul Muslimin perlu segera mengevaluasi diri atas kekeliruan langkah dakwah yang diambil selama 30 tahun belakangan ini.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa para pemimpinnya sedang berada di jalan yang berbeda dengan apa yang digariskan dan dirumuskan Hasan Al-Banna rahimahullah. Saat itulah Allah bukan lagi jadi tujuan. Rasul bukan lagi jadi panutan. Qur’an bukan lagi jadi sumber hukum dan peraturan. Jihad bukan lagi jadi jalan dakwah dan izzatul Islam wal muslimin. Mati syahid bukan lagi jadi cita-cita yang tertinggi.
Sebab itu tidak heran, jika kualitas Jamaah Ikhwan dan pencapaian perjuangan dakwahnya 30 tahun terakhir sangat jauh berbeda dari Ikhwanul Muslimin yang dipimpin Hasan Al-Banna selama 20 tahun pertama sampai Beliau syahid 1948. Semoga menjadi pelajaran bagi gerakan dakwah di negeri ini, khususnya bagi yang mengklaim menjadi penganut gerakan Ikhwanul Muslimin. Allahumma aamiin…
Minggu, 26 April 2009
Dibalik Angka Pemilu 2009
my note:
Tulisan ini menarik dan bagus sebagai saran sekaligus kritik membangun untuk PKS.
Oleh: M. Qodari
(Direktur Eksekutif, Indo Barometer, Jakarta)
Usai pemilu legislastif, sekarang ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja partai politik (parpol) kita. Parpol yang baik merupakan keharusan apabila kita ingin meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Partai politik yang buruk akan melahirkan demokrasi yang lemah. Sebaliknya, partai politik yang baik akan melahirkan demokrasi yang kuat.
Terhadap kinerja parpol kita, pada dasarnya hanya ada dua jenis penilaian yang bisa diberikan. Pertama, berhasil. Kedua, gagal. Kriteria penilaian itu pun secara umum bisa dibagi dua. Pertama, kriteria berbasis angka. Kedua, kriteria berbasis non-angka. Karena keterbatasan ruang untuk memudahkan evaluasi kinerja parpol, dalam kesempatan ini fokus evaluasi akan dilakukan pada kinerja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sambil tetap membahas partai-partai lainya.
*Kriteria Angka*
Evaluasi ini akan dimulai dari kriteria angka. Kriteria angka itu sendiri dapat dibagi dalam beberapa kategori. Kriteria pertama adalah kirteria persentase suara. Parpol yang persentase suaranya naik dianggap berhasil dan yang turun dianggap gagal. Jika kriteria ini dipakai, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dianggap sukses karena suaranya meningkat dari 7,3 persen di Pemilu 2004 menjadi sekitar 8,5 persen dalam Pemilu 2009 ini.
Namun, yang lebih sukses tentulah Partai Demokrat (PD) yang suaranya naik hampir tiga kali lipat, dari 7,5 persen di tahun 2004 menjadi sekitar 20,5 persen di tahun 2009 ini.
Jika PKS dan PD dianggap sukses karena suaranya naik, parpol yang 'kurang sukses' karena suaranya turun adalah Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Adapun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tidak ikut dimaksukkan evaluasi ini karena baru sekali ikut pemilu. Sementara itu, kenaikan dan penurunan suara Partai Amanat Nasional (PAN) belum bisa disimpulkan secara definitif karena beberapa *quick count* (QC) berbeda persentase suaranya.
Kriteria angka berikutnya adalah kriteria peringkat. Jika kriteria peringkat yang dipakai, PKS juga bisa disebut berhasil karena peringkat PKS naik dari nomor 6 di Pemilu 2004 ke nomor 4 di Pemilu 2009. Yang paling berhasil tentu saja PD yang posisinya meloncat dari peringkat 5 di Pemilu 2004 ke peringkat 1 di Pemilu 2009. PAN juga sukses karena naik karena dulu peringkat 7
sekarang peringkat 5.
Adapun parpol yang gagal adalah Golkar (turun dari peringkat 1 di Pemilu 2004 ke peringkat 2 atau 3 di Pemilu 2009, ini pastinya menunggu hasil hitungan resmi KPU), PPP (turun dari peringkat 4 ke 6), dan PKB (dari peringkat 3 ke peringkat 6). PDIP di tahun 2004 menempati peringkat 2. Di Pemilu 2009, mungkin PDIP bertahan di peringkat 2 atau mungkin turun ke peringkat 3, tergantung hitungan resmi KPU nanti.
Untuk kriteria kenaikan dan penurunan kursi di DPR RI, analisis masih tentatif karena penghitungan resmi KPU belum selesai. Penghitungan ini menjadi lebih rumit karena adanya variabel baru dalam penghitungan kursi DPR RI, yakni aturan ambang batas atau *parliamentary threshold* untuk pemilu DPR RI. Namun, dari penghitungan sementara, beberapa partai yang jumlah kursinya diperkirakan menurun adalah Golkar, PDIP, PPP, dan PKB. Sementara itu, yang naik adalah PKS dan PD.
Kriteria berbasis angka lainnya adalah soal penyebaran kekuatan parpol. Parpol yang berhasil adalah parpol yang kekuatannya menyebar lebih merata di Pemilu 2009 ini. Parpol yang gagal adalah parpol yang tidak mampu memperluas wilayah kekuatannya. PKS termasuk sangat berhasil karena dulu partai ini hanya kuat di Banjabar (Banten, Jakarta, Jawa Barat), namun kini dapat merebut banyak kursi di wilayah lain, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan seterusnya. PD juga sangat berhasil. Posisi PD hampir selalu masuk tiga besar di berbagai provinsi. Bahkan, PD bisa menjadi peraih suara tertinggi di beberapa daerah yang dulu dikuasai partai lain, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan seterusnya.
PDIP dan Golkar pada hakikatnya tetap mempertahankan penyebaran suaranya
yang bersifat nasional. Namun, suara Golkar dan PDIP menurun di berbagai wilayah. Yang jelas gagal adalah PKB yang wilayah kekuatannya tidak keluar dari Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.. Bahkan, suara PKB di Jawa Timur yang dulu peringkat 1 kini turun ke peringkat 3 di bawah PD dan PDIP.
*Kriteria Nonangka*
Di luar kriteria angka sebagaimana dipaparkan di atas, penilaian tentang
keberhasilan dan kegagalan parpol juga perlu mempertimbangkan beberapa kriteria penting lainnya yang beyond numbers (di luar/di balik angka-angka).
Beberapa kriteria nonangka itu meliputi ideologi, organisasi, sumber daya, dan kepemimpinan.
Evaluasi terhadap empat kriteria nonangka ini kiranya lebih penting daripada kriteria angka karena bersifat lebih jangka panjang dan mendalam ketimbang
angka-angka. Kriteria nonangka ini penting diikutsertakan dalam evaluasi ini
karena dua alasan. Pertama, kriteria ini mencerminkan kapasitas parpol yang
sesungguhnya untuk menjalankan perannya secara maksimal. Kedua, kriteria angka menyimpan jebakan persoalan tersembunyi. Ada partai yang menurut
kriteria angka mencapai kesuksesan besar, ternyata menyimpan hal yang serius
ketika ditinjau dari kriteria nonangka.
Kriteria ideologi, misalnya. Kriteria ini sangat penting bagi parpol karena parpol pada hakikatnya merupakan wadah perjuangan bagi orang-orang yang memiliki ideologi yang sama untuk mewujudkan ideologi itu dalam kehidupan bangsa dan negara. Adapun ideologi yang dimaksud di sini adalah "suatu sistem gagasan yang menyeluruh tentang kondisi masyarakat yang ada sekarang dan kondisi masyarakat yang dicita-citakan, berikut cara-cara untuk mewujudkannya".
Kriteria ideologi ini penting untuk parpol agar dia memiliki orientasi yang jelas ke mana parpol ini akan dibawa. Jika suatu parpol eksis tanpa ada suatu landasan ideologi yang jelas, parpol tersebut sebetulnya hanya menjadi 'mesin suara' yang mengantarkan caleg menjadi anggota DPR/DPRD atau tokoh partai menjadi capres, cawapres, menteri, ataupun jabatan publik lainnya..
Jika ini yang terjadi, eksistensi parpol tersebut sulit diharapkan untuk membawa kemaslahatan publik yang besar, selain nasibnya tak akan berumur panjang.
Dalam konteks ini, hanya sedikit parpol besar kita yang telah memiliki landasan ideologi yang dijabarkan secara jelas, menyeluruh, dan detail dalam satu dokumen yang utuh (sebutlah: "*platform* partai"). Sampai sejauh ini, saya baru menemukan satu partai yang membuat *platform* partai, yakni PKS. Saya belum menemukan dokumen sejenis untuk Golkar yang notabene partai senior dan PD yang merupakan pemenang Pemilu 2009.
Kriteria organisasi itu penting sebagai institusi yang menjalankan begitu banyak peran, termasuk di antaranya agregasi politik, komunikasi politik, rekrutmen politik, kaderisasi kepemimpinan, pendidikan politik, dan seterusnya. Partai politik harus memiliki organisasi yang solid dan modern.
Apalagi tugas demikian harus dilaksanakan pada skala nasional yang sangat luas. Parpol dengan organisasi lemah (termasuk dalam kriteria organisasi ini adalah kualitas kader) tidak dapat diharapkan untuk menjalankan aneka peran di atas. Bahkan, ada parpol yang organisasinya begitu buruk sehingga untuk mengurus dirinya sendiri pun tak mampu.
Dalam aspek ini, PKS termasuk partai yang dianggap sukses. Organisasinya rapi dan kadernya solid. Parpol yang juga dianggap memiliki organisasi yang baik adalah Golkar. Adapun parpol yang organisasinya masih dianggap lemah adalah PDIP, PKB, dan PPP. Catatan khusus harus diberikan pada PD yang dalam Pemilu 2009 kali ini menang, namun sesungguhnya kemenangan itu bukan dilahirkan oleh organisasi yang kuat.
Kriteria sumber daya terutama menyangkut kemampuan parpol membiayai aneka
kegiatan mereka sehari-hari. Ini salah satu persoalan terbesar parpol
Indonesia sekarang ini. Kebanyakan parpol belum cukup kuat secara finansial.
Dalam konteks ini, PKS masih kurang sebab PKS kalah sumber daya dibandingkan Golkar dan PDIP yang notabene memang lebih senior. Juga, kalah sumber daya dari PD yang tokohnya sekarang presiden berkuasa. Pekerjaan rumah semua partai itu adalah bagaimana bisa mengumpulkan sumber daya yang tidak keluar dari koridor hukum dan dapat berfungsi dalam jangka panjang.
Kriteria terakhir adalah kriteria kepemimpinan. Kepemimpinan dalam parpol penting karena dua alasan. Pertama, kepemimpinan dalam parpol merupakan
"bahan baku" untuk kepemimpinan nasional. Kedua, kepemimpinan atau tepatnya
ketokohan yang kuat dalam parpol merupakan magnet suara yang bisa membuat
suara partai membesar secara signifikan. Dalam kriteria ini, PKS belum memiliki tokoh yang bisa menjadi magnet suara bagi masyarakat Indonesia sehingga bisa membuat PKS menjadi parpol terbesar di Indonesia.
Parpol yang sukses dengan tokoh yang menjadi magnet politik ada di PD dengan
SBY sebagai tokohnya dan PDIP dengan Megawati Soekarnoputri sebagai figur
utamanya. Golkar, PAN, PKB, dan PPP nasibnya mirip dengan PKS karena belum
memiliki figur yang popularitasnya seluas SBY dan Megawati. Memang, parpol
tidak boleh tergantung pada figur selamanya, namun mesin politik yang kuat
tanpa figur yang juga kuat akan sulit mengalami akselerasi kemenangan. Inilah empat pekerjaan rumah parpol-parpol Indonesia ke depan, yaitu membangun *platform* ideologi yang jelas; organisasi dan kader yang kuat; sumber daya yang memadai; dan ketokohan yang mampu menjadi magnet politik nasional.
Tulisan ini menarik dan bagus sebagai saran sekaligus kritik membangun untuk PKS.
Oleh: M. Qodari
(Direktur Eksekutif, Indo Barometer, Jakarta)
Usai pemilu legislastif, sekarang ini adalah momentum yang tepat untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja partai politik (parpol) kita. Parpol yang baik merupakan keharusan apabila kita ingin meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Partai politik yang buruk akan melahirkan demokrasi yang lemah. Sebaliknya, partai politik yang baik akan melahirkan demokrasi yang kuat.
Terhadap kinerja parpol kita, pada dasarnya hanya ada dua jenis penilaian yang bisa diberikan. Pertama, berhasil. Kedua, gagal. Kriteria penilaian itu pun secara umum bisa dibagi dua. Pertama, kriteria berbasis angka. Kedua, kriteria berbasis non-angka. Karena keterbatasan ruang untuk memudahkan evaluasi kinerja parpol, dalam kesempatan ini fokus evaluasi akan dilakukan pada kinerja Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sambil tetap membahas partai-partai lainya.
*Kriteria Angka*
Evaluasi ini akan dimulai dari kriteria angka. Kriteria angka itu sendiri dapat dibagi dalam beberapa kategori. Kriteria pertama adalah kirteria persentase suara. Parpol yang persentase suaranya naik dianggap berhasil dan yang turun dianggap gagal. Jika kriteria ini dipakai, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bisa dianggap sukses karena suaranya meningkat dari 7,3 persen di Pemilu 2004 menjadi sekitar 8,5 persen dalam Pemilu 2009 ini.
Namun, yang lebih sukses tentulah Partai Demokrat (PD) yang suaranya naik hampir tiga kali lipat, dari 7,5 persen di tahun 2004 menjadi sekitar 20,5 persen di tahun 2009 ini.
Jika PKS dan PD dianggap sukses karena suaranya naik, parpol yang 'kurang sukses' karena suaranya turun adalah Partai Golongan Karya (Golkar), Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).Adapun Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tidak ikut dimaksukkan evaluasi ini karena baru sekali ikut pemilu. Sementara itu, kenaikan dan penurunan suara Partai Amanat Nasional (PAN) belum bisa disimpulkan secara definitif karena beberapa *quick count* (QC) berbeda persentase suaranya.
Kriteria angka berikutnya adalah kriteria peringkat. Jika kriteria peringkat yang dipakai, PKS juga bisa disebut berhasil karena peringkat PKS naik dari nomor 6 di Pemilu 2004 ke nomor 4 di Pemilu 2009. Yang paling berhasil tentu saja PD yang posisinya meloncat dari peringkat 5 di Pemilu 2004 ke peringkat 1 di Pemilu 2009. PAN juga sukses karena naik karena dulu peringkat 7
sekarang peringkat 5.
Adapun parpol yang gagal adalah Golkar (turun dari peringkat 1 di Pemilu 2004 ke peringkat 2 atau 3 di Pemilu 2009, ini pastinya menunggu hasil hitungan resmi KPU), PPP (turun dari peringkat 4 ke 6), dan PKB (dari peringkat 3 ke peringkat 6). PDIP di tahun 2004 menempati peringkat 2. Di Pemilu 2009, mungkin PDIP bertahan di peringkat 2 atau mungkin turun ke peringkat 3, tergantung hitungan resmi KPU nanti.
Untuk kriteria kenaikan dan penurunan kursi di DPR RI, analisis masih tentatif karena penghitungan resmi KPU belum selesai. Penghitungan ini menjadi lebih rumit karena adanya variabel baru dalam penghitungan kursi DPR RI, yakni aturan ambang batas atau *parliamentary threshold* untuk pemilu DPR RI. Namun, dari penghitungan sementara, beberapa partai yang jumlah kursinya diperkirakan menurun adalah Golkar, PDIP, PPP, dan PKB. Sementara itu, yang naik adalah PKS dan PD.
Kriteria berbasis angka lainnya adalah soal penyebaran kekuatan parpol. Parpol yang berhasil adalah parpol yang kekuatannya menyebar lebih merata di Pemilu 2009 ini. Parpol yang gagal adalah parpol yang tidak mampu memperluas wilayah kekuatannya. PKS termasuk sangat berhasil karena dulu partai ini hanya kuat di Banjabar (Banten, Jakarta, Jawa Barat), namun kini dapat merebut banyak kursi di wilayah lain, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan seterusnya. PD juga sangat berhasil. Posisi PD hampir selalu masuk tiga besar di berbagai provinsi. Bahkan, PD bisa menjadi peraih suara tertinggi di beberapa daerah yang dulu dikuasai partai lain, seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatra Utara, dan seterusnya.
PDIP dan Golkar pada hakikatnya tetap mempertahankan penyebaran suaranya
yang bersifat nasional. Namun, suara Golkar dan PDIP menurun di berbagai wilayah. Yang jelas gagal adalah PKB yang wilayah kekuatannya tidak keluar dari Jawa Timur dan Kalimantan Selatan.. Bahkan, suara PKB di Jawa Timur yang dulu peringkat 1 kini turun ke peringkat 3 di bawah PD dan PDIP.
*Kriteria Nonangka*
Di luar kriteria angka sebagaimana dipaparkan di atas, penilaian tentang
keberhasilan dan kegagalan parpol juga perlu mempertimbangkan beberapa kriteria penting lainnya yang beyond numbers (di luar/di balik angka-angka).
Beberapa kriteria nonangka itu meliputi ideologi, organisasi, sumber daya, dan kepemimpinan.
Evaluasi terhadap empat kriteria nonangka ini kiranya lebih penting daripada kriteria angka karena bersifat lebih jangka panjang dan mendalam ketimbang
angka-angka. Kriteria nonangka ini penting diikutsertakan dalam evaluasi ini
karena dua alasan. Pertama, kriteria ini mencerminkan kapasitas parpol yang
sesungguhnya untuk menjalankan perannya secara maksimal. Kedua, kriteria angka menyimpan jebakan persoalan tersembunyi. Ada partai yang menurut
kriteria angka mencapai kesuksesan besar, ternyata menyimpan hal yang serius
ketika ditinjau dari kriteria nonangka.
Kriteria ideologi, misalnya. Kriteria ini sangat penting bagi parpol karena parpol pada hakikatnya merupakan wadah perjuangan bagi orang-orang yang memiliki ideologi yang sama untuk mewujudkan ideologi itu dalam kehidupan bangsa dan negara. Adapun ideologi yang dimaksud di sini adalah "suatu sistem gagasan yang menyeluruh tentang kondisi masyarakat yang ada sekarang dan kondisi masyarakat yang dicita-citakan, berikut cara-cara untuk mewujudkannya".
Kriteria ideologi ini penting untuk parpol agar dia memiliki orientasi yang jelas ke mana parpol ini akan dibawa. Jika suatu parpol eksis tanpa ada suatu landasan ideologi yang jelas, parpol tersebut sebetulnya hanya menjadi 'mesin suara' yang mengantarkan caleg menjadi anggota DPR/DPRD atau tokoh partai menjadi capres, cawapres, menteri, ataupun jabatan publik lainnya..
Jika ini yang terjadi, eksistensi parpol tersebut sulit diharapkan untuk membawa kemaslahatan publik yang besar, selain nasibnya tak akan berumur panjang.
Dalam konteks ini, hanya sedikit parpol besar kita yang telah memiliki landasan ideologi yang dijabarkan secara jelas, menyeluruh, dan detail dalam satu dokumen yang utuh (sebutlah: "*platform* partai"). Sampai sejauh ini, saya baru menemukan satu partai yang membuat *platform* partai, yakni PKS. Saya belum menemukan dokumen sejenis untuk Golkar yang notabene partai senior dan PD yang merupakan pemenang Pemilu 2009.
Kriteria organisasi itu penting sebagai institusi yang menjalankan begitu banyak peran, termasuk di antaranya agregasi politik, komunikasi politik, rekrutmen politik, kaderisasi kepemimpinan, pendidikan politik, dan seterusnya. Partai politik harus memiliki organisasi yang solid dan modern.
Apalagi tugas demikian harus dilaksanakan pada skala nasional yang sangat luas. Parpol dengan organisasi lemah (termasuk dalam kriteria organisasi ini adalah kualitas kader) tidak dapat diharapkan untuk menjalankan aneka peran di atas. Bahkan, ada parpol yang organisasinya begitu buruk sehingga untuk mengurus dirinya sendiri pun tak mampu.
Dalam aspek ini, PKS termasuk partai yang dianggap sukses. Organisasinya rapi dan kadernya solid. Parpol yang juga dianggap memiliki organisasi yang baik adalah Golkar. Adapun parpol yang organisasinya masih dianggap lemah adalah PDIP, PKB, dan PPP. Catatan khusus harus diberikan pada PD yang dalam Pemilu 2009 kali ini menang, namun sesungguhnya kemenangan itu bukan dilahirkan oleh organisasi yang kuat.
Kriteria sumber daya terutama menyangkut kemampuan parpol membiayai aneka
kegiatan mereka sehari-hari. Ini salah satu persoalan terbesar parpol
Indonesia sekarang ini. Kebanyakan parpol belum cukup kuat secara finansial.
Dalam konteks ini, PKS masih kurang sebab PKS kalah sumber daya dibandingkan Golkar dan PDIP yang notabene memang lebih senior. Juga, kalah sumber daya dari PD yang tokohnya sekarang presiden berkuasa. Pekerjaan rumah semua partai itu adalah bagaimana bisa mengumpulkan sumber daya yang tidak keluar dari koridor hukum dan dapat berfungsi dalam jangka panjang.
Kriteria terakhir adalah kriteria kepemimpinan. Kepemimpinan dalam parpol penting karena dua alasan. Pertama, kepemimpinan dalam parpol merupakan
"bahan baku" untuk kepemimpinan nasional. Kedua, kepemimpinan atau tepatnya
ketokohan yang kuat dalam parpol merupakan magnet suara yang bisa membuat
suara partai membesar secara signifikan. Dalam kriteria ini, PKS belum memiliki tokoh yang bisa menjadi magnet suara bagi masyarakat Indonesia sehingga bisa membuat PKS menjadi parpol terbesar di Indonesia.
Parpol yang sukses dengan tokoh yang menjadi magnet politik ada di PD dengan
SBY sebagai tokohnya dan PDIP dengan Megawati Soekarnoputri sebagai figur
utamanya. Golkar, PAN, PKB, dan PPP nasibnya mirip dengan PKS karena belum
memiliki figur yang popularitasnya seluas SBY dan Megawati. Memang, parpol
tidak boleh tergantung pada figur selamanya, namun mesin politik yang kuat
tanpa figur yang juga kuat akan sulit mengalami akselerasi kemenangan. Inilah empat pekerjaan rumah parpol-parpol Indonesia ke depan, yaitu membangun *platform* ideologi yang jelas; organisasi dan kader yang kuat; sumber daya yang memadai; dan ketokohan yang mampu menjadi magnet politik nasional.
Jumat, 23 Januari 2009
Nostalgia
Setelah beberapa waktu yang lalu, saya mengunjungi blog seseorang (even i don't know, who she is) tapi saya merasa dibawa ke suatu tempat dimana saya merasa sangat nyaman dan merasakan sesuatu (heart feeling) yang begitu jauh entah dimana, namun saya betah didalamnya...
I finally found the answer. I could be like that because, I was hearing a song. Yes, a song what I like so much, used to be (it's about 15 years ago)
So, after it was happened.. I told to my wife. And I was so surprised, that she liked the song too!
You know, what was happened then? -> I had gone for a romantic dancing with her...
So nice.. really. We were enjoyed the song together.
Hmm.... (alhamdulillah, i'm very happy)
I finally found the answer. I could be like that because, I was hearing a song. Yes, a song what I like so much, used to be (it's about 15 years ago)
So, after it was happened.. I told to my wife. And I was so surprised, that she liked the song too!
You know, what was happened then? -> I had gone for a romantic dancing with her...
So nice.. really. We were enjoyed the song together.
Hmm.... (alhamdulillah, i'm very happy)
Jumat, 26 Desember 2008
Selamat Tahun Baru 1430 Hijriyah
Assalaamu'alaikum, sahabat semua..
Semoga antum-antunna semakin sholih dan bermafaat untuk masyarakat.
Selamat Tahun Baru 1430 H. Semoga tahun ini adalah tahun kemenangan untuk dakwah dan perbaikan ummat. Amiin..

My Friendster
Salam cinta,
Abu Fauzan.
Semoga antum-antunna semakin sholih dan bermafaat untuk masyarakat.
Selamat Tahun Baru 1430 H. Semoga tahun ini adalah tahun kemenangan untuk dakwah dan perbaikan ummat. Amiin..

My Friendster
Salam cinta,
Abu Fauzan.
Minggu, 07 Desember 2008
ARAFAH
Arafah. Padang luas tempat kita menghampar jiwa. Semua lebur jadi satu tanpa sekat. Semua sekat: etnis, warna kulit, postur, latar budaya dan sejarah. Ihram putih yang membalut tubuh-tubuh kita menyimbolkan kesatuan. Semua kesatuan: asal usul, tujuan hidup, jalan hidup yang kita tempuh untuk mencapai tujuan itu.
Arafah itu seperti lukisan jiwa-jiwa yang digantung di dinding sejarah. Seluruh jiwa menyatu dalam lukisan yang rumit; disatukan oleh kekuatan yang lahir kekuatan; kekuatan cinta yang lahir kekuatan iman. Tiba-tiba kita semua merasakan kerendahan hati yang tulus. Lalu jiwa kita hampar bagai permadani; silakan semua orang duduk di sana. Perbedaan-perbedaan ini, etnis, warna kulit, postur, latar budaya dan sejarah seketika berubah menjadi sumber keindahan yang menghiasi langit kehidupan kita.
Cintalah rahasianya. Maka ekspansi Islam dari jazirah Arab ke kawasan Asia Tengah, Selatan, Tenggara dan Cina, atau kawasan Afrika Selatan dan Utara sampai ke Eropa Barat dan Timur, bukanlah suatu catatan tentang pedang terhunus yang tak pernah berhenti berdarah. Itu justru serangan pasukan cinta yang datang membebaskan jiwa-jiwa manusia dari belenggu yang membatasi hidupnya dengan sekat tanah dan etnis: maka menyatulah mereka dalam cinta yang melapangkan dunia. "Akan kami perangi mereka dengan cinta," kata Hasan Al Banna.
Dalam celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru: keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan menolong orang lain. Pergilah ke negara-negara Islam dan temuilah masyarakatnya, kamu pasti menemukan sifat-sifat itu merata di antara mereka. Itulah sifat-sifat yang lahir dari cinta.
Dan itulah yang terjadi kemudian. Bangsa-Bangsa Islam adalah rumpun ideologi yang tidak pernah bisa punah, bahkan ketika khilafah mereka runtuh dan negara-negara mereka porak-poranda. Bandingkanlah dengan imperium Romawi, atau Persia atau Uni Soviet. Bangsa-bangsa mereka pecah begitu institusi negara mereka runtuh. Nasib seperti ini rasanya juga akan dialami oleh negara-negara kosmo saat ini. Materialisme telah membangun sebuah dunia kosmo yang disatukan dan dipisahkan oleh uang.Di dunia kita saat ini, krisis ekonomi bisa dengan mudah menghancurkan sebuah bangsa, menutup riwayat sebuah negara. Seperti Uni Soviet. Walaupun tidak dapat meramalkan waktu kejadiaannya, tapi saya memiliki kepercayaan yang kuat, bahwa Amerika Serikat juga akan mengalami masa depan yang sama.
Batasan negeri kita, dan negeri mana pun, adalah ruang hati kita. Seluas apa ruang hati kita dapat menampung orang lain, seluas itulah negeri yang mungkin kita huni. Selama apa cinta dapat bertahan dalam hati kita, selama itulah umur negeri kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang rumit sebenarnya tersimpan sebuah rahasia yang sederhana: keutuhan kita sebagai bangsa seumur dengan umur cinta kita.
Anis Matta
pernah dimuat Majalah Tarbawi
Arafah itu seperti lukisan jiwa-jiwa yang digantung di dinding sejarah. Seluruh jiwa menyatu dalam lukisan yang rumit; disatukan oleh kekuatan yang lahir kekuatan; kekuatan cinta yang lahir kekuatan iman. Tiba-tiba kita semua merasakan kerendahan hati yang tulus. Lalu jiwa kita hampar bagai permadani; silakan semua orang duduk di sana. Perbedaan-perbedaan ini, etnis, warna kulit, postur, latar budaya dan sejarah seketika berubah menjadi sumber keindahan yang menghiasi langit kehidupan kita.
Cintalah rahasianya. Maka ekspansi Islam dari jazirah Arab ke kawasan Asia Tengah, Selatan, Tenggara dan Cina, atau kawasan Afrika Selatan dan Utara sampai ke Eropa Barat dan Timur, bukanlah suatu catatan tentang pedang terhunus yang tak pernah berhenti berdarah. Itu justru serangan pasukan cinta yang datang membebaskan jiwa-jiwa manusia dari belenggu yang membatasi hidupnya dengan sekat tanah dan etnis: maka menyatulah mereka dalam cinta yang melapangkan dunia. "Akan kami perangi mereka dengan cinta," kata Hasan Al Banna.
Dalam celupan cinta jiwa-jiwa itu muncul kembali dengan kesamaan-kesamaan baru: keramahan yang tulus, kerendahan hati yang natural, kedermawanan dan kebiasaan menolong orang lain. Pergilah ke negara-negara Islam dan temuilah masyarakatnya, kamu pasti menemukan sifat-sifat itu merata di antara mereka. Itulah sifat-sifat yang lahir dari cinta.
Dan itulah yang terjadi kemudian. Bangsa-Bangsa Islam adalah rumpun ideologi yang tidak pernah bisa punah, bahkan ketika khilafah mereka runtuh dan negara-negara mereka porak-poranda. Bandingkanlah dengan imperium Romawi, atau Persia atau Uni Soviet. Bangsa-bangsa mereka pecah begitu institusi negara mereka runtuh. Nasib seperti ini rasanya juga akan dialami oleh negara-negara kosmo saat ini. Materialisme telah membangun sebuah dunia kosmo yang disatukan dan dipisahkan oleh uang.Di dunia kita saat ini, krisis ekonomi bisa dengan mudah menghancurkan sebuah bangsa, menutup riwayat sebuah negara. Seperti Uni Soviet. Walaupun tidak dapat meramalkan waktu kejadiaannya, tapi saya memiliki kepercayaan yang kuat, bahwa Amerika Serikat juga akan mengalami masa depan yang sama.
Batasan negeri kita, dan negeri mana pun, adalah ruang hati kita. Seluas apa ruang hati kita dapat menampung orang lain, seluas itulah negeri yang mungkin kita huni. Selama apa cinta dapat bertahan dalam hati kita, selama itulah umur negeri kita. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang rumit sebenarnya tersimpan sebuah rahasia yang sederhana: keutuhan kita sebagai bangsa seumur dengan umur cinta kita.
Anis Matta
pernah dimuat Majalah Tarbawi
Masih Tetap Partai Dakwah
Oleh Tifatul Sembiring
Sumber: Republika, 3 Des 2008, hal 6
Banyak orang mempertanyakan mengapa PKS mengklaim dirinya sebagai
partai dakwah. Bahkan ada yang mengatakan kalau PKS ingin berdakwah,
mengapa harus bikin partai? Silakan berdakwah di masjid-masjid, di
surau-surau atau di mushala-mushala. Tidak usah ikut-ikutan maju ke
panggung politik. Pemahaman ini sering dikemukakan oleh para pengamat
maupun politisi. Mereka menganggap PKS salah kaprah ketika ikut di
kancah politik.
Sebetulnya, hakikat dakwah adalah ishlah (dari bahasa Arab), artinya
perbaikan. Bila kita ingin memperbaiki kualitas ummat, kualitas
masyarakat, berarti kita telah melakukan ishlah. Dalam terminologi
lain, kata ishlah juga bermakna reformasi. How to reform this nation.
PKS yakin perbaikan itu dapat dilakukan secara gradual dengan
meminimalkan efek-efek destruktif tentunya. Jadi, sebagai pendukung
reformasi, PKS akan terus berjuang mengemban amanah reformasi dengan
langkah-langkah dakwah.
Dakwah memiliki tahapan. Pertama, memperbaiki diri sendiri, kemudian
keluarga, masyarakat, hingga memperbaiki negara. Inilah sekarang yang
sedang dilakukan PKS. Istilah kami berdakwah di level negara. PKS,
misalnya, menganggap parlemen sebagai mimbar dakwah. Kebijakan atau
keputusan yang dihasilkan parlemen harus membela rakyat dan berpihak
pada ummat. Dengan terlibat dalam proses pengambilan keputusan di
parlemen, PKS mengadvokasi dan memberikan manfaat kepada ummat Islam
dalam skala yang lebih luas.
PKS telah bergeser?
Akhir-akhir ini kerap muncul pertanyaan, apakah PKS telah bergeser
dari ideologi dan asas Islam? Apakah sudah tergoda oleh dunia, lalu
memunculkan iklan Soeharto, meninggalkan jati dirinya, melupakan
khiththah perjuangan, dan seterusnya?
Dalam hal ini saya tegaskan asas PKS tetap Islam. PKS tetap berangkat
dari ideologi Islam dengan moral dasar Islam dan tidak akan pernah
bergeser dari prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip ini
sesungguhnya terinspirasi oleh Piagam Madinah dimana intinya
memberikan kebebasan beribadah bagi seluruh warga sesuai dengan
keyakinannya masing-masing, tidak saling mengganggu dan bersinergi
antar komponen bangsa.
Dalam kiprah PKS, ada yang disebut mabadi' dan ada pula kaifiyah.
Mabadi' adalah hal-hal yang bersifat prinsip, yang tsabit atau kokoh.
PKS memiliki AD/ART yang menjadi pedoman keorganisasian, falsafah
dasar perjuangan dan platform pembangunan, yang semua bersumber dari
ajaran Islam tentang keadilan. Itulah mabadi' PKS. Kaifiyah adalah
sesuatu yang bersifat operasional. Untuk kasus iklan PKS yang
diantaranya menampilkan gambar Soeharto, sebenarnya DPP PKS belum
pernah memutuskan atau mengusulkan beliau sebagai pahlawan. Pada sisi
lain, kami memahami pemberian gelar pahlawan nasional adalah domain
pemerintah, bukan PKS.
Iklan yang sempat ditayangkan dalam menyambut hari pahlawan selama
tiga hari itu mendapat kritikan dan tanggapan sangat luas dari
masyarakat dan pengamat. Sebenarnya iklan tersebut tidak bermaksud
memahlawankan Soeharto. Desain awalnya ketika muncul gambar Bung Karno
dan Pak Harto diikuti dengan kalimat: "Mereka sudah lakukan apa yang
mereka bisa". Lalu muncul gambar KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan
diikuti kalimat:"Mereka sudah memberikan apa yang mereka punya", lalu
muncul gambar selanjutnya dan seterusnya. Inilah konsep storyboard
iklan yang diperlihatkan kepada DPP.
Ungkapan yang menyatakan bahwa Soekarno dan Soeharto sudah melakukan
apa yang mereka bisa adalah ungkapan yang bersifat umum dan netral.
Soal benat atau salah tindakan mereka kita serahkan penilaiannya
kepada masyarakat. Namun, pada pengolahan iklan selanjutnya, kata guru
bangsa dimunculkan terlebih dahulu dan di sinilah letak
kontroversinya. Kami menganggap sangat wajar reaksi sebagian
masyarakat terhadap penayangan iklan yang berdurasi hanya 30 detik itu
serta masa tayang yang hanya selama tiga hari.
Hasil kreasi Tim Pemenangan Pemilu serta konsultan iklan dalam rangka
memperingati Hari Pahlawan tersebut membuat banyak mata terbelalak.
Maka tudingan PKS diduga menerima aliran dana dari Cendana dan
berbagai spekulasi pun merebak, juga fitnah-fitnah lainnya.
Secara mabadi' atau prinsip, tidak ada yang berubah dari PKS. Tidak
ada keputusan yang menyatakan Soeharto adalah pahlawan. Tidak ada
perubahan khitthah. Namun, secara kaifiyah, mungkin saja ada yang
keliru. Tentunya, merupakan kewajiban kami mengoreksi dan sebagai
bahan pertimbangan sebelum penayangan iklan-iklan berikutnya di media
massa. PKS akan tetap berjuang untuk bersih, peduli, dan profesional,
sebagaimana hal tersebut menjadi salah satu tag line kami.
Dalam hal acara rekonsiliasi nasional, ini semacam proposal untuk cut
off, memutuskan dendam sejarah agar pergantian rezim tidak diikuti
oleh cercaan dan caci maki antarpengikutnya. Betapa energi bangsa ini
akan tersia-sia karenanya. Padahal banyak permasalahan mendasar masih
menghambat laju pembangunan bangsa kita.
Banyak pengamat mengatakan, pada 2009 ini the end of a political
generation, akhir dari suatu generasi politik. Jadi, tahun 2014 nanti
akan muncul pendatang baru di panggung politik dengan mimpi baru
mereka dan juga obsesi-obsesi yang baru pula. Maka, kami memandang
jangan sampai kaki kita ditarik-tarik terus ke belakang. Mari menatap
ke depan, membangun dan memajukan bangsa, menghilangkan segala bentuk
dendam sejarah. Ini agar ada kekuatan saling percaya di antara kita
dan melangkah tanpa curiga-mencurigai.
Untuk inilah digagas rekonsiliasi dan perlu dicatat bahwa rekonsiliasi
ini tidak bermaksud akan adanya pengampunan terhadap pelanggar hukum.
Yang bersalah tetap harus diproses menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tanpa pandang bulu.
Demikian pula denga penghargaan terhadap tokoh-tokoh muda atau para
pemimpin "balita", dimana hal ini telah kami canangkan sejak di
mukernas di Makassar. Ini adalah semacam stimulasi agar bermunculan
sosok-sosok segar dan berkualitas dari lapisan anak muda di negeri
ini. Pada sisi lain, kita melihat seluruh calon presiden yang telah
muncul rata-rata telah berusia 60 tahun ke atas. Sebagai proposal bagi
Indonesia yang lebih bernas, tentu sah-sah saja kami mengusulkan tokoh
muda.
Kriteria 106 pemimpin "balita" ini pun masih sangat sederhana.
Pertama, mereka memiliki track record moral yang baik, belum
terkontaminasi perilaku KKN. Memiliki kompetensi dan kualitas
kepemimpinan dan telah muncul di publik serta media massa. Mereka
aktif di berbagai bidang, apakah di LSM, kampus, pekerja sosial,
budayawan, pengusaha, dan sebagainya. Kami ingin mengatakan, saat ini
setidaknya ada 106 pemimpin muda yang siap membuat bangsa ini maju dan
bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain.
Inilah penjelasan kami terhadap beberapa kritik yang dialamatkan
kepada PKS. Masukan-masukan tersebut sungguh kami hargai dan
merefleksikan betapa eratnya saling memiliki di antara kita, anak
bangsa. Secara substansi, kritikan-kritikan tersebut menyangkut
kaifiyah, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika
kreativitas para kader dan simpatisan. Wilayah ideologis dan asas kami
ialah Islam, tetap kokoh.
Wallohu a'lam bish-showab
Sumber: Republika, 3 Des 2008, hal 6
Banyak orang mempertanyakan mengapa PKS mengklaim dirinya sebagai
partai dakwah. Bahkan ada yang mengatakan kalau PKS ingin berdakwah,
mengapa harus bikin partai? Silakan berdakwah di masjid-masjid, di
surau-surau atau di mushala-mushala. Tidak usah ikut-ikutan maju ke
panggung politik. Pemahaman ini sering dikemukakan oleh para pengamat
maupun politisi. Mereka menganggap PKS salah kaprah ketika ikut di
kancah politik.
Sebetulnya, hakikat dakwah adalah ishlah (dari bahasa Arab), artinya
perbaikan. Bila kita ingin memperbaiki kualitas ummat, kualitas
masyarakat, berarti kita telah melakukan ishlah. Dalam terminologi
lain, kata ishlah juga bermakna reformasi. How to reform this nation.
PKS yakin perbaikan itu dapat dilakukan secara gradual dengan
meminimalkan efek-efek destruktif tentunya. Jadi, sebagai pendukung
reformasi, PKS akan terus berjuang mengemban amanah reformasi dengan
langkah-langkah dakwah.
Dakwah memiliki tahapan. Pertama, memperbaiki diri sendiri, kemudian
keluarga, masyarakat, hingga memperbaiki negara. Inilah sekarang yang
sedang dilakukan PKS. Istilah kami berdakwah di level negara. PKS,
misalnya, menganggap parlemen sebagai mimbar dakwah. Kebijakan atau
keputusan yang dihasilkan parlemen harus membela rakyat dan berpihak
pada ummat. Dengan terlibat dalam proses pengambilan keputusan di
parlemen, PKS mengadvokasi dan memberikan manfaat kepada ummat Islam
dalam skala yang lebih luas.
PKS telah bergeser?
Akhir-akhir ini kerap muncul pertanyaan, apakah PKS telah bergeser
dari ideologi dan asas Islam? Apakah sudah tergoda oleh dunia, lalu
memunculkan iklan Soeharto, meninggalkan jati dirinya, melupakan
khiththah perjuangan, dan seterusnya?
Dalam hal ini saya tegaskan asas PKS tetap Islam. PKS tetap berangkat
dari ideologi Islam dengan moral dasar Islam dan tidak akan pernah
bergeser dari prinsip-prinsip tersebut. Prinsip-prinsip ini
sesungguhnya terinspirasi oleh Piagam Madinah dimana intinya
memberikan kebebasan beribadah bagi seluruh warga sesuai dengan
keyakinannya masing-masing, tidak saling mengganggu dan bersinergi
antar komponen bangsa.
Dalam kiprah PKS, ada yang disebut mabadi' dan ada pula kaifiyah.
Mabadi' adalah hal-hal yang bersifat prinsip, yang tsabit atau kokoh.
PKS memiliki AD/ART yang menjadi pedoman keorganisasian, falsafah
dasar perjuangan dan platform pembangunan, yang semua bersumber dari
ajaran Islam tentang keadilan. Itulah mabadi' PKS. Kaifiyah adalah
sesuatu yang bersifat operasional. Untuk kasus iklan PKS yang
diantaranya menampilkan gambar Soeharto, sebenarnya DPP PKS belum
pernah memutuskan atau mengusulkan beliau sebagai pahlawan. Pada sisi
lain, kami memahami pemberian gelar pahlawan nasional adalah domain
pemerintah, bukan PKS.
Iklan yang sempat ditayangkan dalam menyambut hari pahlawan selama
tiga hari itu mendapat kritikan dan tanggapan sangat luas dari
masyarakat dan pengamat. Sebenarnya iklan tersebut tidak bermaksud
memahlawankan Soeharto. Desain awalnya ketika muncul gambar Bung Karno
dan Pak Harto diikuti dengan kalimat: "Mereka sudah lakukan apa yang
mereka bisa". Lalu muncul gambar KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan
diikuti kalimat:"Mereka sudah memberikan apa yang mereka punya", lalu
muncul gambar selanjutnya dan seterusnya. Inilah konsep storyboard
iklan yang diperlihatkan kepada DPP.
Ungkapan yang menyatakan bahwa Soekarno dan Soeharto sudah melakukan
apa yang mereka bisa adalah ungkapan yang bersifat umum dan netral.
Soal benat atau salah tindakan mereka kita serahkan penilaiannya
kepada masyarakat. Namun, pada pengolahan iklan selanjutnya, kata guru
bangsa dimunculkan terlebih dahulu dan di sinilah letak
kontroversinya. Kami menganggap sangat wajar reaksi sebagian
masyarakat terhadap penayangan iklan yang berdurasi hanya 30 detik itu
serta masa tayang yang hanya selama tiga hari.
Hasil kreasi Tim Pemenangan Pemilu serta konsultan iklan dalam rangka
memperingati Hari Pahlawan tersebut membuat banyak mata terbelalak.
Maka tudingan PKS diduga menerima aliran dana dari Cendana dan
berbagai spekulasi pun merebak, juga fitnah-fitnah lainnya.
Secara mabadi' atau prinsip, tidak ada yang berubah dari PKS. Tidak
ada keputusan yang menyatakan Soeharto adalah pahlawan. Tidak ada
perubahan khitthah. Namun, secara kaifiyah, mungkin saja ada yang
keliru. Tentunya, merupakan kewajiban kami mengoreksi dan sebagai
bahan pertimbangan sebelum penayangan iklan-iklan berikutnya di media
massa. PKS akan tetap berjuang untuk bersih, peduli, dan profesional,
sebagaimana hal tersebut menjadi salah satu tag line kami.
Dalam hal acara rekonsiliasi nasional, ini semacam proposal untuk cut
off, memutuskan dendam sejarah agar pergantian rezim tidak diikuti
oleh cercaan dan caci maki antarpengikutnya. Betapa energi bangsa ini
akan tersia-sia karenanya. Padahal banyak permasalahan mendasar masih
menghambat laju pembangunan bangsa kita.
Banyak pengamat mengatakan, pada 2009 ini the end of a political
generation, akhir dari suatu generasi politik. Jadi, tahun 2014 nanti
akan muncul pendatang baru di panggung politik dengan mimpi baru
mereka dan juga obsesi-obsesi yang baru pula. Maka, kami memandang
jangan sampai kaki kita ditarik-tarik terus ke belakang. Mari menatap
ke depan, membangun dan memajukan bangsa, menghilangkan segala bentuk
dendam sejarah. Ini agar ada kekuatan saling percaya di antara kita
dan melangkah tanpa curiga-mencurigai.
Untuk inilah digagas rekonsiliasi dan perlu dicatat bahwa rekonsiliasi
ini tidak bermaksud akan adanya pengampunan terhadap pelanggar hukum.
Yang bersalah tetap harus diproses menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, tanpa pandang bulu.
Demikian pula denga penghargaan terhadap tokoh-tokoh muda atau para
pemimpin "balita", dimana hal ini telah kami canangkan sejak di
mukernas di Makassar. Ini adalah semacam stimulasi agar bermunculan
sosok-sosok segar dan berkualitas dari lapisan anak muda di negeri
ini. Pada sisi lain, kita melihat seluruh calon presiden yang telah
muncul rata-rata telah berusia 60 tahun ke atas. Sebagai proposal bagi
Indonesia yang lebih bernas, tentu sah-sah saja kami mengusulkan tokoh
muda.
Kriteria 106 pemimpin "balita" ini pun masih sangat sederhana.
Pertama, mereka memiliki track record moral yang baik, belum
terkontaminasi perilaku KKN. Memiliki kompetensi dan kualitas
kepemimpinan dan telah muncul di publik serta media massa. Mereka
aktif di berbagai bidang, apakah di LSM, kampus, pekerja sosial,
budayawan, pengusaha, dan sebagainya. Kami ingin mengatakan, saat ini
setidaknya ada 106 pemimpin muda yang siap membuat bangsa ini maju dan
bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain.
Inilah penjelasan kami terhadap beberapa kritik yang dialamatkan
kepada PKS. Masukan-masukan tersebut sungguh kami hargai dan
merefleksikan betapa eratnya saling memiliki di antara kita, anak
bangsa. Secara substansi, kritikan-kritikan tersebut menyangkut
kaifiyah, dimana hal tersebut sangat dipengaruhi oleh dinamika
kreativitas para kader dan simpatisan. Wilayah ideologis dan asas kami
ialah Islam, tetap kokoh.
Wallohu a'lam bish-showab
Langganan:
Postingan (Atom)