Rabu, 26 November 2008

Mari Jaga Keutuhan dan Kesatuan Kita

"Qiyadatu mukhlishoh wa jundiyatu muthi'ah"
(Pimpinan yang ikhlas dan kader yang loyal)

Kata-kata di atas merupakan salah satu jargon lahir dalam ranah tarbawiyah, menunjukkan salah satu bentuk pola hubungan timbal balik antara para qiyadah dengan para junud. Dalam skala yang paling kecil menunjukkan pola hubungan antara para murobbi dan para mutarobbi.

Keikhlasan qiyadah-lah yang akan menumbuhkan adanya keta'atan dari para junud. Keikhlasan yang tidak hanya keluar dalam tataran verbal semata tapi terlihat dalam tataran 'amal. Dalam cara pandang yang lain, contohnya, keikhlasan tersebut nuansanya akan bisa juga terlihat dalam cara berbicara, cara berpakaian, cara tersenyum bahkan dalam cara memberikan instruksi/arahan, nuansa keikhlasan kentara terasa. Dengan keikhlasan seperti inilah maka para junud merasakan adanya kenyamanan berada dalam arahan dan bimbingan para qo'id tersebut. Kenyamanan inilah yang nantinya menghasilkan sikap keta'atan dari para junud. Dalam kondisi inilah dengan sendirinya sikap tsiqoh akan muncul.

Namun jangan dilupakan pula, sebaik-baiknya taujih adalah taujih robbani. Dengan sendirinya unsur utama tersebut merupakan katalisator dalam pembentukan sikap tsiqoh ini.

Dalam perspektif organisasi, tsiqoh bil jama'ah menduduki tempat yang utama, sekaligus merupakan parameter loyalitas seorang junud. Tsiqoh bil qiyadah merupakan personifikasi sikap tsiqoh bil jama'ah, inilah pemahaman yang selayaknya hadir dalam setiap junud.

…jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti (tabayyun) agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya…" (QS.Al Hujurat;6)

Rasulullah SAW marah besar kepada Harits bin Dhirar, ketika Harits bin Dhirar datang menghadap untuk melakukan klarifikasi mengapa utusan Rasulullah SAW tidak kunjung datang untuk mengambil zakat yang terkumpul.

Ternyata sang utusan, Walid bin Uqbah, memang tidak melaksanakan tugasnya dengan amanah, dia memang tidak pernah sampai ke tempatnya Harits bin Dhirar, sebaliknya malahan dia kembali lagi ke Madinah dan sewaktu melaporkan hasil tugasnya kehadapan Rasul, Walid bin Uqbah mengabarkan bahwa Harits bin Dhirar tidak mau memberikan zakat yang telah dijanjikan dan malah mau membunuhnya. Inilah yang menjadi sebab kemarahan Rasulullah SAW kepada Harits bin Dhirar.

Harits bin Dhirar tabayyun langsung ke hadapan Rasul, dengan mengatakan "Wahai Rasulullah, kaum kami telah masuk kedalam Islam dan telah mengumpulkan zakat sebagaimana yang telah engkau perintahkan. Namun sampai dengan waktu yang ditentukan ternyata utusan-mu tidak pernah tiba ke tempat kami untuk mengambil zakat tersebut. Kami takut karena kemarahan Allah dan Rasul-nya yang menyebabkan tidak adanya utusan yang datang ke tempat kami. Karena itulah saya dan pembesar-pembesar kami datang menghadapmu. "

Dan turunlah Al-Hujurat ayat 6 di atas tersebut.

Demikianlah Walid bin Uqbah, seorang sahabat dan kader dakwah pada masa Rasulullah SAW, yang telah mendapatkan kemuliaan dengan menjadi salah seorang utusan Rasulullah SAW, ternyata tidak bisa menunaikan amanah dengan baik, malah melaporkan informasi yang menyesatkan bagi Rasulullah SAW berkaitan dengan Harits bin Dhirar. Allah dan Rasul-Nya yang akan menentukan bagaimana bentuk sanksi yang akan menimpanya.

Harits bin Dhirar, sosok kader dakwah yang lainnya, begitu dia merasakan adanya ketidaksesuaian antara janji yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan kenyataan yang terjadi maka sikap yang diambilnya adalah pertama melakukan instropeksi, bila ada perilaku dia dan kaumnya yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya murka sehingga tidak mengirim utusan sebagai salah satu bentuk sanksi yang diberikan, kedua, kemudian melakukan tabayyun langsung ke hadapan Rasulullah SAW dengan membawa para pembesar di kaumnya untuk menjelaskan keadaan yang sesungguhnya. (Lihat selengkapnya dalam tafsir Ibnu Katsir berkenaan dengan ayat tsb di atas).

Pernah ada satu masa dimana saat itu, informasi-informasi yang berkaitan dengan issue-issue kejama'ahan belum begitu semeluas sekarang ini. Saat itu informasi seputar kejama'ahan hanya berkutat dalam area yang terbatas, dan hanya dinikmati juga oleh orang-orang yang terbatas yaitu para kader dakwah itu sendiri, hal ini merupakan konsekuensi yang wajar karena dakwah saat itu masih mempersiapkan diri, menata diri untuk siap-siap memasuki pintu dakwah berikutnya yang sangat lebar yaitu dakwah kepada masyarakat dalam era keterbukaan (jahriyatu jamahiriyyah da'wah).

Dalam hal pengelolaan informasi, struktur saluran informasi yang tercipta saat itu bisa menghasilkan sterilisasi informasi dari unsur-unsur pengotor. Sehingga informasi kejama'ahan yang beredar bersih, terang dan shohih. Pola khas-nya adalah bottom up atau top down (vertical).

Karena tuntutan keniscayaan dakwah inilah, maka akhirnya tarbiyah memasuki masa keterbukaannya. Tarbiyah dalam era kekinian sebagai konsekuensinya menghadapi kenyataan bahwa betapa informasi, isu-isu seputar tarbiyah dan kejama'ahan begitu banyak berserakan dimana-mana. Saking berserakannya, maka menjadikan kita begitu mudah untuk mengambilnya. Saking berserakannya, maka timbul kesamaran mana informasi yang wadhih dan shohih, dan mana informasi yang menyesatkan. Konsumennya pun menjadi tidak semata-mata para kader saja bahkan masyarakat luas pun bisa menikmatinya. Informasi itu bisa datang dari samping kiri atau kanan kita. Tanpa kita mencaripun, tanpa menyengajapun, kita akan menemuinya.

Bila masa itu telah tiba, dimana para kader kadang mudah terprovokasi dengan pelbagai informasi yang diterima dari kanan atau kirinya. Tanpa menyadari (karena kemasan yang begitu baik, begitu ngikhwah, begitu *ks) bahwa diantara sekian informasi yang diterima itu boleh jadi ada yang sebagian dilontarkan oleh pihak yang membenci dakwah ini, memusuhi, bercita-cita agar dakwah ini hancur. Maka lunturlah ketsiqohan, terkikislah keta'atan. Persis seperti apa yang Allah gambarkan dalam ayat-Nya di atas.

Ikhtisar, Ingatlah kita semua adalah junud dalam dakwah ini, inilah saatnya kita menunjukkan sikap dan perilaku kita sebagai kader sejati. Kewajiban kitalah untuk mengawal jalannya kereta dakwah ini, karenanya kita harus tsiqoh kepada dakwah ini, tsiqoh kepada jama'ah ini, sikap kita :
1.Tolaklah lebih dulu, berilah pembelaan dakwah, bila menemui adanya informasi yang 'miring' , jangan terburu atau terpengaruh untuk ikut-ikutan membenarkan.
2.Ruju' kepada murobbi, tanyakanlah hal ihwal permasalahan ini kepada murobbi, bila ybs tidak bisa memberikan penjelasan, pasti ybs akan menanyakannya pula kepada murobbinya. Inilah salah satu saluran informasi yg bersih itu.
3.Simaklah bayanat yang di keluarkan oleh struktur, namun perlu diingat tidak setiap permasalahan memerlukan bayanat. Ada skala prioritas. Inilah saluran informasi bersih lainnya.

Wallahu a'lam.

Berharap Syurga-Mu

Memang saya tak setampan Nabi Yusuf alaihi salam, yang pesonanya
membuat Zulaikha tergila-gila kepadanya dan belasan wanita cantik
lainnya rela mengiris tangannya tanpa sadar lantaran tersihir keelokan
wajah putra Ya'kub itu. Ketampanan Yusuf bukan semata fisik, melainkan
cahaya di hatinya yang memancarkan kemuliaan. Bandingkan dengan diri
ini, tak seujung kelingking pun ketampanan saya bisa menyaingi Nabi
mulia itu.


Saya pun tak sesabar Nabi Ibrahim alaihi salam, berdakwah hingga
usianya lebih seabad namun hanya sedikit pengikutnya. Yang bersabar
hingga hari tuanya untuk bisa menimang putra tercinta Ismail. Coba
lihat diri ini, sering tergesa-gesa tak sabaran

Sosok ini pun tak setaat Ismail putra Ibrahim, yang ikhlas menjalankan
perintah Allah meskipun harus disembelih oleh ayahnya sendiri. Bahkan
Ismail tak bergeming saat setan menggodanya. Hmm, mudah sekali rasanya
setan-setan menggoda diri ini. Mungkin karena saya belum benar-benar
taat kepada-Nya.

Diri ini jelas-jelas tak setabah Nabi Ayub alaihi salam dalam
menjalani cobaan dari Allah. Ayub yang bertahun-tahun diuji Allah
dengan penyakit, tak sedikit pun mengeluh. Justru sebaliknya, ia
merasa ujian itu adalah cara Allah mendekatinya. Sedangkan saya, baru
kena flu saja sudah uring-uringan, bagaimana diberi penyakit yang
lebih parah? Bisa-bisa jadi alasan untuk malas beribadah.

Saya juga tak sehebat Nabi Daud alaihi salam, yang meski bertubuh
kecil sangat pemberani melawan Raja Jalut. Begitupun Nabi Musa alaihi
salam yang tak gentar berhadapan dengan penguasa paling lalim
sepanjang masa, Firaun. Ia berani mengungkapkan kebenaran dengan nyawa
taruhannya. Duh, jika saya berada pada posisi seperti itu, sanggupkah?
Bahkan menegur sahabat yang berbuat salah pun terasa berat lidah ini
mencobanya. Ironisnya, saya sering bersembunyi, pura-pura buta setiap
kali kemungkaran berlaku di depan mata ini.

Hati ini tak setegar Nabi Nuh alaihi salam yang tetap tersenyum
mendapati ejekan dari kaumnya, termasuk isteri dan anaknya sendiri.
Bahkan ketika air bah datang, Nuh tetap mengajak kaum yang sebelumnya
tak henti mengejeknya sebagai orang gila. Andaikan saya yang diejek,
emosi lah yang didahulukan. Kalau perlu saya menantang siapapun
penghina itu untuk berkelahi, saling menumpahkan darah. Saya mudah
marah, gampang tersulut emosinya, mudah terprovokasi, ah jauhlah dari
sifat Nabi Nuh.

Akal pikiran ini tak secerdas Nabi Harun alaihi salam, yang karena
kecerdasannya ia diperintah Allah menemani Musa menghadapi Firaun
sekaligus menghadapi para pengikutnya. Kejernihan pikirannya,
menjadikan ia teramat mudah mendapat hikmah dari Allah. Saya
benar-benar iri kepada Nabi Harun yang tak pernah berhenti belajar.
Berbeda dengan saya yang terkadang sudah merasa cukup pintar, sering
berpikir bahwa diri ini sarat ilmu pengetahuan.

Saya benar-benar tak sebijak Nabi Sulaiman alaihi salam, dalam segala
hal. Ia yang mampu mendengar suara semut yang ketakutan akan derap
pasukan Sulaiman, bahkan sangat kasih terhadap makhluk yang sangat
kecil itu. Karena kebijaksanaannya itulah, ia dicintai oleh segenap
makhluk di bumi, dari bangsa manusia hingga jin, dari hewan di darat,
udara sampai di dalam lautan. Sulit rasanya saya sekadar mencoba
berlaku bijaksana dan adil. Saya masih egois, melihat untung rugi
dalam berbuat, mengedepankan siapa yang dekat dengan saya dan siapa
yang saya suka, bukan siapa yang benar dan berbuat kebaikan.

Nabi Isa alaihi salam mengajarkan tentang kelembutan hati. Tentang
berbagi, membantu sesama, menolong orang tanpa pamrih, meringankan
beban kaum dhuafa, menyediakan tangannya untuk orang-orang yang
kesusahan, dan mengobati yang sakit. Hatinya selalu menangis melihat
orang-orang yang menderita, dirinya selalu berada di sekeliling kaum
dhuafa. Sedangkan saya, berkali-kali menyaksikan fenomena kemiskinan,
kesusahan, penderitaan di berbagai tempat, tetap saja hati ini sekeras
batu,.Tak gampang menangis jika bukan diri ini sendiri yang mengalami
kesusahan.

Bagaimana dengan Rasulullah Muhammad Sallallaahu alaihi wassallaam?
Sungguh, beliaulah teladan seluruh manusia. Tentang cinta, kasih
sayang kepada sesama, urusan rumah tangga, kelembutan sikap, kemuliaan
akhlak, tutur kata, persahabatan, persaudaraan, kepemimpinan,
berwirausaha, seluruhnya sempurna. Tak cukup jutaan lembar kertas
untuk menuliskan keindahan pribadinya, diperlukan samudera tinta guna
melukiskan kemuliaan akhlaknya.

Tetapi saya? Tak berani menyebut satu saja keunggulan pribadi diri
ini. Sebab, satu terbilang, maka seratus keburukan segera terucap.
Andaikan saya setampan Yusuf, mungkin saya akan sombong dan tak
bersyukur. Misalkan saya sepemberani Daud, belum tentu digunakan untuk
membela kebenaran. Adapun saya pernah membantu seseorang, pamrih,
ujub, riya pun mengiringi perbuatan itu.

Jangankan untuk meniru sifat para Nabi dan Rasul, mendekatinya pun tak
mungkin. Jangankan menyamai pribadi mereka, mengikuti jejak para
sahabatnya pun tak sanggup. Berkaca pada manusia-manusia pilihan-Mu ya
Rabb, saya malu, teramat malu.

Jika demikian adanya, di pintu mana saya boleh mengetuk surga-Mu?

ditulis oleh:
Sahabatku, Bayu Gautama.